KOMPAS.com - Mencari dana buat Alif (bocah ajaib kelahiran Indonesia, kebanggan Ajax FC, 11 tahun) agar ia bisa menjadi pesepakbola kelas dunia, bisa membuat mata kita terbuka. Ini adalah soal DNA, yaitu DNA pengorganisasian kelas dunia.
Bukan cuma soal PSSI yang pembekuannya baru saja dicabut Menpora. Melainkan juga kampus, korporasi swasta, BUMN, dan tentu saja UKM kita. Kita tahu, semua tengah berlomba “go international”, menjuluki dirinya “World Class".
Masuk akal, karena sekalipun diam di pasar domestik saja, mereka tak lepas dari serangan organisasi kelas dunia tadi.
Tetapi tahukah mereka, ini bukan soal keren-kerenan. Perubahan bisa saja tak bisa membuat kita menaklukkan mereka. Apalagi ingin menyejajarkan diri. Masuk peringkat saja hampir tak mungkin, karena basic-nya ada di DNA. Sebuah cetak biru saat kita merancangnya.
Mari kita bermain kata-kata sederhana. Saya harap Anda tak mudah tersinggung ketika saya menyebut kata “kampung”. Ini cuma soal ukuran besar-kecil saja. Bukan soal selera. Yang satu “kampung”, yang lainnya “kota”, dan yang lainnya, katakanlah “kelas dunia.”
Jadi ada DNA kelas kampung, nasional dan ada kelas dunia. Maksud saya ketika Anda mengatakan “yang terbaik di kampung kita”, misalnya, tentu berbeda artinya dengan “yang kelas dunia.” Bukankah cara mencari bibitnya saja sudah berbeda?
Alif, Kelas Dunia
Di usia 6 tahun, Alif sudah menarik perhatian klub-klub sepakbola dunia. Ada yang bilang itu berkat video yang diunggah pamannya di kanal Youtube.
Tetapi mungkin titik awalnya adalah ketika Alif terpilih sebagai the most valuable player dalam turnamen Arsenal Asia di Singapure.
Entah bagaimana ceritanya, sebuah klub sepak bola kelas dunia asal Eropa yang namanya sering Anda lihat di tivi, tiba-tiba membuka sekolah bola di Jakarta dan mengundang Alif untuk ikut. Tak cuma mengajarkan teknik menggiring bola, orang tuanya juga diajarkan cara memberi makanan bergizi, membangun disiplin dan belajar bahasa asing.
Persis seperti kisah Michael Oher, remaja kulit hitam yang dirawat keluarga Leigh Anne Tuohy sejak kecil, menjadi pemain rugby. Kisah rebutan kampus-kampus kelas dunia yang juga terkenal dengan ketangguhan tim olahraganya itu dapat Anda lihat dalam film true story, "The Blind Side" yang di perankan Quinton Aaron dan Sandra Bullock.
Kampus-kampus itu mencari dan memberikan yang terbaik agar menjadi pemain hebat. Pencarian bakat bukan sekedar siapa mau ikut, tetapi benar-benar dicari dari segala penjuru. Kompetitif, kelas dunia.
Demikianlah Alif, begitu prestasinya menonjol, didatangi oleh hampir semua klub sepak bola dunia yang rajin melakukan transfer pemain.
Kisah kedatangan Messi dari Argentina ke Barcelona di usia 13 tahun dengan alasan berobat misalnya, mungkin tak dapat dilepaskan dari “talent war” ini. Aneh juga terdengarnya, apa betul Messi menderita kelainan hormon pertumbuhan? Tapi itulah alasan yang dipakai agar Messi bisa bergabung di akademi sepakbola Barcelona.
Klub-klub itu membidik bakat-bakat unggul sejak talent itu masih belia. Mereka bukan hanya diajari cara menggiring bola, melainkan juga diasah otak kiri dan kanannya. Termasuk memilih makanan, bernyanyi dan sebagainya.