Lambatnya penyaluran kredit juga berpotensi menurunkan pendapatan dan laba bank.
Jadi, selama triwulan I 2016, laba bank tertekan oleh lambatnya penyaluran kredit dan lonjakan NPL.
Untuk mencegah penurunan laba yang lebih dalam, bank pun mengatur siasat. Salah satu strategi yang ditempuh adalah memainkan suku bunga kredit dan suku bunga simpanan.
Caranya, dengan menurunkan bunga simpanan secepat mungkin dan menurunkan bunga kredit selambat mungkin.
Berdasarkan data Statistik Perbankan yang dirilis OJK, rata-rata suku bunga deposito jangka 1 bulan turun 50 basis poin (bp) dari 7,60 persen pada akhir Desember 2015 menjadi 7,1 persen pada akhir Maret 2016.
Namun, selama periode yang sama, rata-rata suku bunga kredit modal kerja hanya turun 20 bp dari 12,46 persen menjadi 12,26 persen.
Artinya spread suku bunga simpanan dan suku bunga kredit makin melebar.
Dengan strategi ini, bank tidak hanya bisa mempertahankan margin bunga bersih (net interest margin/NIM), tetapi bahkan meningkatkannya.
Pada akhir triwulan I 2016, NIM perbankan nasional mencapai 5,55 persen, meningkat dibandingkan akhir tahun 2015 yang sebesar 5,39 persen.
Praktik yang dilakukan perbankan saat ini tentu saja bertolak belakang dengan keinginan pemerintah, Bank Indonesia, dan OJK yang getol mendorong penurunan suku bunga kredit dan NIM.
Perbankan seolah tidak peduli dengan program pemerintah yang menargetkan suku bunga kredit bisa menyentuh single digit pada tahun ini dan rata-rata bisa sebesar 7 pada akhir 2017.
Kebijakan OJK mengenai pemberian insentif bagi bank yang bisa menurunkan NIM pun berpotensi hanya menjadi angin lalu.
Jadi, pemerintah dan bank sentral harus berupaya lebih keras untuk memulihkan perekonomian, sementara OJK harus mulai menjewer bank-bank yang terus menaikkan NIM-nya.