Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Dilema Strategi Anggaran Jokowi

Kompas.com - 24/05/2016, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Selanjutnya, eksekutif akan mengajukan rancangan strategi anggaran baru yang akan dituangkan dalam APBN-Perubahan 2016.

Kurang beruntung

Melesetnya rencana dan strategi Jokowi bukan kali ini saja terjadi.

Pada tahun 2015 yang merupakan tahun pemerintahan Jokowi, strategi penganggaran juga tidak berjalan sesuai rencana.

Namun, melesetnya rencana anggaran bukan melulu karena ketidakbecusan pemerintahan Jokowi memprediksi situasi ekonomi dan mengelola anggaran.

Ada faktor kekurangberuntungan juga yang menyelimuti pemerintahan Jokowi.

Awalnya, Jokowi datang memberi harapan bagi rakyat Indonesia, termasuk asa untuk memperbaiki ekonomi Indonesia yang bagai benang kusut alias tak tahu darimana harus diperbaiki.

Jokowi adalah presiden pertama yang berani mendobrak kebuntuan dengan mengubah besar-besaran wajah APBN.

Wajah APBN yang sebelumnya tidak produktif karena begitu minimnya anggaran stimulus dirombak sehingga menjadi lebih produktif.

Anggaran subsidi yang selama bertahun-tahun membelenggu  pemerintah karena besarannya mencapai 20 – 30 persen belanja negara dipangkas signifikan dan beberapa jenis subsidi, seperti premium, bahkan dihapus.

Dengan menghapus subsidi, pemerintah Jokowi berharap bisa mengantongi dana kurang lebih Rp 200 triliun, yang akan dialihkan untuk kegiatan produktif terutama pembangunan infrastruktur.

Tahun 2015, anggaran infrastruktur pun dipatok sebesar Rp 290,3 triliun, yang merupakan anggaran infrastruktur tahunan terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Jumlah tersebut meningkat hampir Rp 100 triliun dibandingkan anggaran infrastruktur tahun sebelumnya.

Dalam APBN 2015, pemerintah mengasumsikan harga minyak bisa mencapai 105 dollar AS per barrel.

Dengan asumsi itu, pemerintah menargetkan pendapatan pajak dari migas bisa mencapai Rp 88,71 triliun dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari migas sebesar Rp 224,26 triliun.

Namun, apa yang terjadi? Siapa menyangka, harga minyak akan terus jatuh hingga mencapai titik terendahnya sekitar 30 dollar AS per barrel.

Akibatnya, mimpi menangguk penerimaan besar dari minyak dan gas (migas) menjadi kandas. Di akhir tahun 2015, realisasi pajak dari migas hanya Rp 41,4 triliun.

PNBP dari migas juga anjlok hanya sekitar Rp 110 triliun atau setengahnya dari target semula.

Tak hanya migas, pendapatan negara dari komoditas lain juga merosot akibat jatuhnya harga hampir seluruh komoditas di pasaran dunia.

Di sisi lain, akibat pelemahan ekonomi global dan domestik, penerimaan pajak  meleset sekitar Rp 253,5 triliun. Hancurnya sisi penerimaan sudah pasti akan memengaruhi sisi belanja.

Pemerintah otomatis tidak bisa berbelanja sebagaimana yang direncanakan, termasuk memenuhi belanja infrastruktur.

Akhirnya, dari target belanja infrastruktur sebesar Rp 290,3 triliun, realisasinya sekitar Rp 254,9 triliun.   

Itupun dilakukan dengan penambahan utang yang totalnya mencapai Rp 490 triliun sepanjang tahun 2015.

Sumber : OPEC Perkembangan harga minyak

Tantangan berat

Jelas sudah, kombinasi kesialan, perencanaan yang kurang matang, kebijakan ekonomi yang tidak efektif, dan keinginan belanja besar telah menempatkan Jokowi dalam posisi dilematis.

Mau genjot penerimaan pajak, ekonomi sedang sulit. Ingin dorong aktivitas ekonomi, kebijakan yang diterapkan kurang efektif. Berniat pangkas belanja, infrastruktur tetap harus dibangun.

Berharap lanjutkan pembangunan infrastruktur, utang bakal bertambah signifikan.

Situasi makin suram karena pekan lalu, Bank Indonesia merevisi turun prediksinya atas angka pertumbuhan ekonomi Indonesia  2016 dari 5,2 – 5,6 persen menjadi 5 – 5,4 persen.

Artinya, target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah tahun ini sebesar 5,3 persen bakal sulit tercapai.

Jika perekonomian 2016 kembali suram, maka asa untuk bisa tumbuh 8 persen pada tahun  2019  niscaya tak akan pernah jadi kenyataan.

Namun, seperti terus didengungkan Jokowi, api optimisme harus tetap dijaga. Saatnya semua pihak harus bahu membahu mewujudkan kemajuan ekonomi.

Masyarakat, mari berbelanja agar ekonomi berputar lebih cepat. Pelaku usaha, mari berinvestasi dan berekspansi, jangan hanya wait and see.

Kita tentu tak ingin kecewa lagi, apalagi Presiden Jokowi.

Kompas TV Sinergi Perencanaan & Penerapan Anggaran

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com