JAMBI, KOMPAS.com - Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Tanjung Sehati, Desa Mekar Jaya, Kecamatan Tabir Selatan, Kabupaten Merangin, Jambi merupakan satu dari tiga gabungan kelompok petani sawit swadaya di Indonesia yang telah mengantongi sertifikat Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
GAPOKTAN Tanjung Sehati terdiri dari enam kelompok tani dengan total anggota sebanyak 214 orang, dengan hasil produksi tandan buah segar (TBS) rata-rata 5.500 ton per tahun.
Kepala GAPOKTAN Tanjung Sehati Jalal Sayuti mengatakan, sejak tahun 2014 GAPOKTAN Tanjung Sehati telah mendapatkan sertifikasi RSPO dengan total kebun seluas 316,57 hektare (Ha).
"Saat ini setelah mendapatkan sertifikasi RSPO, sangat banyak manfaat yang kami peroleh, diantaranya kami mendapatkan keterbukaan informasi baik dari pemerintah maupun pihak swasta, kami mendapatkan ilmu pengetahuan baru tentang sawit berkelanjutan, mendapatkan penjualan dari sertifikasi RSPO, serta bisa membeli aset tanah dan kebuh untuk organisasi kami," tutur Jalal, di Merangin, Jambi, Selasa (24/5/2016).
Jalal mengungkapkan, proses mengubah praktik berkebun menjadi konsep berkelanjutan memang tidak mudah.
Sejak 2006 GAPOKTAN Tanjung Sehati didampingi Yayasan SETARA terus mendorong pemberdayaan petani dengan penuh tantangan seperti traumatik organisasi, kondisi jalan dan akses transportasi yang tidak mendukung, serta akses pupuk yang susah didapat.
Selain itu, diakui Jalal, untuk mendapatkan bibit bersertifikat juga sangat sulit. Petani swadaya juga minim informasi harga TBS, dan minim pengetahuan perkebunan kelapa sawit.
"Memang menjadi suatu awal yang berat untuk mengubah kebiasaan buruk menjadi lebih baik," ucap Jalal.
Namun, proses panjang itu terbayar setelah mereka mendapatkan sertifikasi RSPO.
Jalal mengakui, memang soal harga tidak ada perbedaan antara ketika belum memiliki sertifikasi RSPO dan sesudahnya.
Akan tetapi, sambung Jalal, akses informasi dan harga TBS serta pabrik penyerap produk menjadi lebih terbuka.
Sayangnya, Jalal menambahkan, tidak ada pabrik kelapa sawit (PKS) yang bersertifikasi RSPO di Kabupaten Merangin.
Padahal, TBS dari kebun yang bersertifikasi RSPO hanya bisa dijual ke PKS yang juga mengantongi sertifikasi RSPO.
"Kami jualnya ke perusahaan yang terdekat saja, seperti Sari Aditya Loka (SAL) 1, Agrindo Indah Persada (AIP) masih grup Wilmar," kata Jalil.
Selain penjualan langsung ke perusahaan yang sudah berstandar RSPO, GAPOKTAN Tanjung Sehati juga mendapatkan penjualan dari sertifikasi RSPO.
Peneliti dari RSPO Imam A. El Marzuq menjelaskan, penjualan dari sertifikasi RSPO maksudnya yaitu virtual trading atau biasa disebut book and claim.
"Misalnya satu ton TBS setara satu lembar sertifikat. Kalau ada 5.500 ton TBS, berarti ada 5.500 lembar book and claim yang bisa diperdagangkan melalui platform Green Palm. Pembelinya bisa siapa saja," kata Imam.
Biasanya, kata dia, rate yang ditawarkan dalam lelang terbuka lebih baik dibandingkan perdagangan fisik. Umumnya, untuk tiap lembar sertifikat dibuka lelang dengan rate 2,5 dollar AS per lembar.
Imam mengungkapkan data RSPO per Mei 2016 menunjukkan, hingga saat ini baru ada tiga gabungan kelompok tani di Indonesia yang mengantongi sertifikasi RSPO.
"Pertama, Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah di Riau. Kedua, Koperasi Tani Maju di Sumatera Selatan. Dan ketiga, Gapoktan Tanjung Sehati, Jambi," kata Imam.
Jumlah petani sawit swadaya dari ketiganya mencapai 810 orang dengan luas lahan 1.972 Hektare.
Di Indonesia, petani yang dikategorikan petani swadaya yaitu mereka yang memiliki luas lahan garapan di bawah 25 Ha.
"Tantangan umum petani swadaya adalah masih banyak penggunaan bibit tidak bersertifikat, tingkat teknologi masih rendah, dokumentasi sangat terbatas, kelembagaan petani lemah, persoalan dana, dan ketersediaan pabrik pengolah TBS bersertifikat," pungkas Imam.