Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Inco Harper
Dosen Universitas Multimedia Nusantara

Dosen & Koordinator Konsentrasi Public Relations Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Pernah menjadi praktisi periklanan. Pencinta audiophile dan film-film hi-definition.

"The World is Flat", Haruskah Mendikotomikan Periklanan dengan PR?

Kompas.com - 31/05/2016, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Tahun 2002, terbit sebuah buku yang cukup menggegerkan industri periklanan saat itu, “The Fall of Advertising & The Rise of PR”, tulisan dari pasangan ayah dan anak, Al Ries dan Laura Ries. Buku itu kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2004.

Saat itu saya baru saja bekerja di industri periklanan Indonesia. Pro-kontra hadir dalam berbagai perbincangan, mulai dari ngopi-ngopi santai sampai diskusi di mailing list periklanan. Hampir semua orang yang bekerja di industri periklanan tidak setuju dengan buku itu, termasuk saya tentunya.

Yang setuju, tentu punya latar belakang Public Relations (PR) atau beberapa yang ada di posisi client-side. Saat itu tentu Internet sudah ada, namun media sosial belum berkembang, bahkan Friendster baru saja lahir dan belum dikenal banyak orang.

Dari judulnya yang provokatif dan mendiskreditkan periklanan, wajar saja membuat sensi para praktisi yang bekerja dalam industri periklanan. Saat itu, kue di industri periklanan sangatlah besar dan sebagian besar masuk sebagai biaya media placement media massa tradisional terutama televisi dan surat kabar.

Saat itu Citra Pariwara, Festival Kreatif Periklanan Nasional, masih di-relay oleh seluruh stasiun televisi nasional. Jadi dapat dikatakan, industri periklanan masih dalam masa gemerlapnya.

Saat itu, industri PR justru masih dipandang kalah seksi oleh banyak klien yang mendewa-dewakan rating. PR masih menjadi media komunikasi lapis ke-2 jika dibandingkan dengan iklan dan hanya digunakan saat sebuah perusahaan atau merek terkena kasus atau krisis.

Jadi dapat dikatakan bahwa PR hanya dijadikan sebagai sebuah strategi reaktif saja, dan bukan sebuah strategi proaktif seperti yang dilakukan oleh banyak merek besar saat itu. Bahkan PR seringkali hanya ditangani oleh PR internal tanpa bantuan dan konsultansi dari sebuah PR Agency.

Sama-sama bauran komunikasi pemasaran
 
Para ahli pemasaran seperti Philip Kotler, Tom Duncan, Terence Shimp dan masih banyak lagi bersepakat dalam buku teks mereka bahwa periklanan dan PR adalah sama-sama bauran komunikasi pemasaran yang punya fungsi berbeda, dan harusnya saling melengkapi.

Bauran komunikasi pemasaran klasik terdiri dari: (1) periklanan; (2) PR/publikasi; (3) promosi penjualan; (4) penjualan perorangan; dan (5) pemasaran langsung. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya tersendiri.

Namun selama ini, seakan periklanan selalu menjadi komandan dari kampanye sebuah merek, terutama untuk merek-merek baru. Dalam bauran komunikasi pemasaran, tentu saja periklanan tak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dan koordinasi dari unsur-unsur lainnya.

Sebagai contoh, sebuah iklan produk baru yang muncul masif di televisi tentu akan semakin baik jika mendapat pemberitaan positif di media massa, dibantu oleh SPG yang menjualnya di supermarket, dipromosikan dengan diskon yang menarik dan tentunya dipasarkan secara langsung ke target tertentu yang telah disasar melalui katalog.

Yang dimasalahkan oleh Ries dalam bukunya adalah porsi budget untuk periklanan selalu muncul lebih besar daripada unsur-unsur bauran komunikasi pemasaran lainnya. Sebagai contoh, Ries menuliskan bahwa Dell Computer pada tahun 2001 menghabiskan 430 juta dollar AS untuk periklanan dan ‘hanya’ 2 juta dollar AS untuk aktivitas PR.

Itu artinya budget periklanan 215 kali lebih besar daripada budget PR. Suatu hal yang mungkin akan membuat pelaku industri PR cemburu pada industri periklanan.

Kreativitas adalah komandannya, bukan periklanan ataupun PR

Sejak tahun 2010, saat berhenti menjadi praktisi periklanan, saya memantau jalannya industri periklanan dari berbagai diskusi di media sosial dan juga berbagai Festival Kreativitas, baik skala nasional, regional sampai global.

Salah satu Festival Kreativitas yang tak pernah lepas dari pantauan saya adalah Cannes Lions International Festival Of Creativity yang hadir setiap tahunnya di Bulan Juni dan diadakan di Cannes, Prancis. Sebuah festival bergengsi yang diikuti oleh berbagai agency network dari seluruh dunia.

Pemantauan ini tak lepas dari kebutuhan saya dalam mengajar mata kuliah Integrated Marketing Communications (IMC) yang harus selalu menghadirkan case study terbaru dalam industri komunikasi.

Yang menjadi perhatian saya, banyak sekali sebuah kampanye yang menang dalam berbagai kategori media tradisional seperti televisi, cetak, radio, yang notabene adalah domain periklanan, namun juga menang dalam kategori PR, bahkan menang dalam kategori Titanium and Integrated Lions, kategori paling bergengsi dalam festival ini.

Yang menarik, berbagai video entry memaparkan banyak data tentang efektivitas publikasi mereka melalui media sosial seperti banyaknya like, share dan retweet yang kampanye tersebut dapatkan secara viral.

Pemenang Grand Prix dalam kategori Titanium and Integrated Lions 2013, kampanye “Dumb Ways to Die” juga menang Grand Prix dalam berbagai kategori lainnya termasuk PR. Sebuah kampanye sosial dari Metro Trains Australia yang dibuat oleh McCann Melbourne, yang bertujuan untuk mengurangi angka kecekakaan yang terjadi di area stasiun Metro Trains.

Kampanye ini justru diawali dengan diciptakannya sebuah jingle “Dumb Ways to Die” yang kemudian divisualisasikan secara menarik dan ikonik melalui bentuk tokoh-tokoh kartun yang lucu.

Kampanye ini kemudian berkembang dalam berbagai macam bentuk media dan aktivasi merek, mulai dari website, youtube video, aplikasi games sampai buku cerita bergambar untuk anak-anak. Semuanya dengan pesan yang sama dan saling terintegrasi – kunci kekuatan dari sebuah aktivitas komunikasi pemasaran.

Yang saya lihat, justru tidak lagi terjadi dikotomi antara periklanan dengan PR atau bentuk media lainnya. Yang terjadi adalah kolaborasi dan sinergi, menjadi jawaban atas masalah yang ada.

Kreativitas menjadi komandannya, bukan lagi periklanan ataupun PR. Justru era media sosial semakin membuat tipis perbedaan antara periklanan dengan PR, dan McCann Melbourne sangat paham memanfaatkan kondisi tersebut.

Jadi saat ini, mungkin sudah saatnya kita membuang buku “The Fall of Advertising & The Rise of PR” karena justru yang harus didahulukan adalah ide dan kreativitas. Periklanan dan PR akan muncul sesuai dengan kebutuhan ide tersebut, bukan jadi sebuah hal yang harus didahulukan.

Bagaimanapun era media tradisional sedang memasuki senja kala, justru media sosial membuat jangkauan sebuah pesan lebih cepat dan luas. Bukankah itu yang dimaksudkan oleh Thomas L Friedman dalam bukunya "The World is Flat"?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com