Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Begini Nasib Transmigran Sawit Era Soeharto Sekarang

Kompas.com - 01/06/2016, 19:13 WIB
Iwan Supriyatna

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Di awal era 1980-an Pemerintahan Presiden Soeharto menerapkan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) untuk percepatan peningkatan kesejahteraan petani atau masyarakat di daerah.

Program tersebut mengharuskan masyarakat untuk melakukan imigrasi dari pulau satu ke pulau lainnya untuk mengembangkan komoditas, salah satunya kelapa sawit.

Disadari, mengadu nasib menjadi transmigran ke luar pulau tak cukup dengan modal nekat saja.

Melakukan transmigrasi memerlukan perhitungan yang matang, keberanian, keuletan, kegigihan, dan kesabaran.

Tidak semua transmigran memilikinya. Namun Rachmat Samekto, bapak tiga orang anak ini, telah berhasil mengubah nasibnya dari pekerja bengkel miskin di Yogyakarta menjadi petani sejahtera di Riau.

Kompas.com mewawancarai secuil perjalanan hidupnya saat menjadi transmigran hingga kini.

Berikut adalah petikan wawancara Kompas.com saat menyambangi kediamannya di Desa Genduang Kecamatan Pangkalan Lesung, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Bagaimana ceritanya bapak dan keluarga bisa sampai di Pelalawan, Riau?

Jadi waktu saya di Yogyakarta, ada sosialiasi program dari Presiden Soeharto terkait Perkebunan Inti Rakyat transmigrasi.

Waktu itu saya belum mengerti program apa itu, yang ada di pikiran saya adalah saya dan keluarga akan dibuang atau ditelantarkan.

Hampir dua tahun saya berunding dengan istri, saya memiliki keyakinan kalau saya dan keluarga berangkat, kehidupan kita bisa jadi lebih baik.

Setelah saya pahami, ternyata para transmigran nantinya akan mengelola lahan sawit sebanyak 2 hektar (ha) milik pemerintah yang dikelola Koperasi Unit Desa (KUD).

Lantas, apa yang membuat bapak dan keluarga memutuskan untuk berangkat ke Riau?

Saya bercita-cita anak saya bisa sekolah tinggi, kalau bertahan di Jawa mungkin hanya cukup untuk makan saja waktu itu.

Maka dari itu, tahun 1988 kami sekeluarga memutuskan untuk berangkat. Dari Yogyakarta ada sekitar 517 orang dari 88 kepala keluarga yang ikut, dan itu juga tidak berbarengan semua, karena penempatannya juga beda-beda.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com