Memiliki bisnis sendiri, sering menggoda dan memikat banyak orang. Apalagi kaum pekerja.
Senyampang orang berpandangan, menjadi pengusaha itu enaknya luar biasa. Waktu kerja lebih fleksibel. Dompet juga rata-rata lebih tebal.
Namanya juga punya sendiri, mau bekerja pada pagi, siang, atau malam, semua diputuskan sendiri. Penghasilan juga bisa diatur-atur sendiri. Mau banyak bisa. Mau lebih banyak juga bisa.
Berbeda halnya dengan menjadi pekerja. Waktu bekerja sangat ketat, kadang-kadang masih ditambah kerja ekstra. Aturan juga sangat mengikat. Tak boleh ini, tak boleh begitu. Harus begini, atau harus begitu. Penghasilan bulanan relatif tetap, padahal kebutuhan hidup terus bergerak naik.
Begitulah stereotipe soal kehidupan pengusaha atau wirausaha. Penilaian yang dibuat berdasarkan persepsi belaka. Pandangan yang menyederhanakan banyak aspek, sehingga cenderung tidak akurat atau keliru.
Berikut ini adalah beberapa nama yang punya motif berbeda-beda ketika meninggalkan dunia lama, dunia kerja, dan terjun ke dunia baru, dunia entrepreneurship. Alasannya berbeda-beda, dengan rentang waktu menjalankan usaha yang juga berbeda-beda.
Orang-orang berikut ini punya alasan berbeda-beda ketika berpindah kuadran dari pekerja profesional menjadi entrepreneur. Meninggalkan dunia lama yang nyaman, teratur, pasti, lalu melompat ke kolam baru, berenang di dunia yang bergejolak, penuh ketidakpastian, dan sarat risiko.
Modal Nekad
Perempuan ini meniti karier di salah satu perusahaan paling bonafide di kolong langit, Microsoft. Bahkan ia ikut menjadi karyawan perintis pada saat perusahaan ini baru saja membuka kantor perwakilannya di Indonesia di pertengahan tahun 1990-an.
Cynthia Iskandar (48) merasa, jarak antara rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dengan kantornya di kawasan SCBD Sudirman, menyiksanya sehari-hari.
Waktu yang terbuang sia-sia, kemacetan yang makin menggila, perasaan bersalah terhadap anak-anak dan keluarga yang sering ditinggalkannya menunaikan tugas luar kota atau negeri, membuatnya berani mengambil keputusan untuk memutar arah hidupnya.
“Modal nekad aja,” ujarnya. Pengalamannya selama ini sebagai praktisi kehumasan, juga latar belakang ilmunya di London School of Public Relation Jakarta, menebalkan nyalinya untuk “menjual jasa” ini dengan kapal yang ia bangun sendiri, United Communication.
Berbekal pertemanan dan jaringan yang telah dibangunnya sepanjang kariernya yang panjang di Microsoft Indonesia, ia mulai mendayung kapal barunya. Tak heran jika klien-klien pertama perusahaannya adalah perusahaan-perusahaan yang juga bergerak di bidang teknologi informasi.
Setelah sepuluh tahun, ia kini sudah berlayar di tengah-tengah lautan bisnis kehumasan. Tapi ia sendiri tak terlalu berambisi membuat kapalnya menjadi lebih besar.
Bisnis kehumasan yang digelutinya, lebih dimaknai sebagai kendaraan untuk merawat passion-nya di bidang kehumasan, sekaligus mendidik anak-anak muda yang tertarik dengan dunia ini.
Bonus lain yang ia dapat adalah relasinya yang tetap terhubung baik dengan para jurnalis di berbagai media, terutama sejak ia masih bekerja di Microsoft Indonesia.
Kini, cita-citanya untuk keluar dari jebakan rutinitas pegawai kantoran, dan hasratnya untuk tidak menua di jalanan hari-hari ini telah tercapai.
Ia bisa mengatur jadwal kerjanya sendiri, dan sesekali masih bisa menikmati perjalanan ke luar kota atau ke luar negeri tanpa tergantung sisa jatah cuti atau izin atasan. Juga perjalanan bersama teman-teman lamanya yang hingga hari ini masih menjadi jurnalis.