Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alois Wisnuhardana
Penulis

Penulis dan penyuka petualangan bersepeda. Memulai kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, tapi menyelesaikannya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pernah menjadi Pemimpin Redaksi pada Majalah IDEBISNIS, Apartment Guide, iDEA, Tabloid RUMAH, dan Tabloid PCplus.

Dari Profesional ke Wirausaha: Melompat ke Kolam Penuh Risiko

Kompas.com - 10/06/2016, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Memiliki bisnis sendiri, sering menggoda dan memikat banyak orang. Apalagi kaum pekerja.

Senyampang orang berpandangan, menjadi pengusaha itu enaknya luar biasa. Waktu kerja lebih fleksibel. Dompet juga rata-rata lebih tebal.

Namanya juga punya sendiri, mau bekerja pada pagi, siang, atau malam, semua diputuskan sendiri. Penghasilan juga bisa diatur-atur sendiri. Mau banyak bisa. Mau lebih banyak juga bisa.

Berbeda halnya dengan menjadi pekerja. Waktu bekerja sangat ketat, kadang-kadang masih ditambah kerja ekstra. Aturan juga sangat mengikat. Tak boleh ini, tak boleh begitu. Harus begini, atau harus begitu. Penghasilan bulanan relatif tetap, padahal kebutuhan hidup terus bergerak naik.

Begitulah stereotipe soal kehidupan pengusaha atau wirausaha. Penilaian yang dibuat berdasarkan persepsi belaka. Pandangan yang menyederhanakan banyak aspek, sehingga cenderung tidak akurat atau keliru.

Berikut ini adalah beberapa nama yang punya motif berbeda-beda ketika meninggalkan dunia lama, dunia kerja, dan terjun ke dunia baru, dunia entrepreneurship. Alasannya berbeda-beda, dengan rentang waktu menjalankan usaha yang juga berbeda-beda.

Orang-orang berikut ini punya alasan berbeda-beda ketika berpindah kuadran dari pekerja profesional menjadi entrepreneur. Meninggalkan dunia lama yang nyaman, teratur, pasti, lalu melompat ke kolam baru, berenang di dunia yang bergejolak, penuh ketidakpastian, dan sarat risiko.

Modal Nekad

Perempuan ini meniti karier di salah satu perusahaan paling bonafide di kolong langit, Microsoft. Bahkan ia ikut menjadi karyawan perintis pada saat perusahaan ini baru saja membuka kantor perwakilannya di Indonesia di pertengahan tahun 1990-an.

dokumen pribadi Cynthia Iskandar
Sepuluh tahun lebih kariernya dihabiskan di perusahaan ini, sampai menduduki kursi Public Relation Manager. Ia ikut mengalami perpindahan kantor berkali-kali, dari satu gedung ke gedung lain di Jakarta, hingga ke gedung terakhir di Bursa Efek Indonesia Tower, sebelum dia memutuskan undur diri.

Cynthia Iskandar (48) merasa, jarak antara rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dengan kantornya di kawasan SCBD Sudirman, menyiksanya sehari-hari.

Waktu yang terbuang sia-sia, kemacetan yang makin menggila, perasaan bersalah terhadap anak-anak dan keluarga yang sering ditinggalkannya menunaikan tugas luar kota atau negeri, membuatnya berani mengambil keputusan untuk memutar arah hidupnya.

“Modal nekad aja,” ujarnya. Pengalamannya selama ini sebagai praktisi kehumasan, juga latar belakang ilmunya di London School of Public Relation Jakarta, menebalkan nyalinya untuk “menjual jasa” ini dengan kapal yang ia bangun sendiri, United Communication.

Berbekal pertemanan dan jaringan yang telah dibangunnya sepanjang kariernya yang panjang di Microsoft Indonesia, ia mulai mendayung kapal barunya. Tak heran jika klien-klien pertama perusahaannya adalah perusahaan-perusahaan yang juga bergerak di bidang teknologi informasi.

Setelah sepuluh tahun, ia kini sudah berlayar di tengah-tengah lautan bisnis kehumasan. Tapi ia sendiri tak terlalu berambisi membuat kapalnya menjadi lebih besar.

Bisnis kehumasan yang digelutinya, lebih dimaknai sebagai kendaraan untuk merawat passion-nya di bidang kehumasan, sekaligus mendidik anak-anak muda yang tertarik dengan dunia ini.

Bonus lain yang ia dapat adalah relasinya yang tetap terhubung baik dengan para jurnalis di berbagai media, terutama sejak ia masih bekerja di Microsoft Indonesia.

Kini, cita-citanya untuk keluar dari jebakan rutinitas pegawai kantoran, dan hasratnya untuk tidak menua di jalanan hari-hari ini telah tercapai.

Ia bisa mengatur jadwal kerjanya sendiri, dan sesekali masih bisa menikmati perjalanan ke luar kota atau ke luar negeri tanpa tergantung sisa jatah cuti atau izin atasan. Juga perjalanan bersama teman-teman lamanya yang hingga hari ini masih menjadi jurnalis.

Demi Keluarga dan Hobi

Heru Krisna (41), memulai hidup di Jakarta sebagai seorang sales sebuah perusahaan yang menjual sistem keamanan. Dari situ, ia kemudian berpindah karier menjadi supervisor pada perusahaan distributor telepon seluler.

dokumen pribadi Heru Krisna
Pekerjaan terakhirnya sebagai pekerja kantoran di Jakarta adalah manajer di anak perusahaan Secure Parking, yang bergerak di bidang pengadaan hardware dan software sistem perparkiran.

Alasan utamanya untuk berani keluar dari kolam lama adalah ingin punya banyak waktu untuk keluarga, untuk bermusik yang menjadi dunianya sejak remaja, dan lebih banyak punya waktu untuk berkegiatan sosial dan religi.

Berbekal penguasaan teknis di dunia sistem keamanan (security system), keahlian dalam presentasi dan negosiasi, dan jaringan yang sudah dibangun, pada tahun 2007 ia mendirikan PT Axia Prima Sejahtera, sebuah perusahaan yang menyediakan layanan sistem keamanan terintegrasi.

Keputusannya untuk memulai bisnis justru ketika ia masih muda adalah, jika sampai mengalami kegagalan dalam berbisnis, ia masih bisa kembali lagi bekerja di jalur profesional dengan keahlian yang dimilikinya.

Tapi justru karena keyakinannya bahwa dunia bisnis ini akan membuat waktunya untuk keluarga dan untuk kegiatan bermusik jadi lebih banyak, di tahun-tahun awal perusahaan berdiri, ia membangun fondasi yang kokoh, mulai dari penguatan skill dan attitude karyawannya, perluasan jaringan, sampai dengan pemetaan client/customer yang cermat.

Latar belakang pendidikan di bidang elektronika dan instrumentasi di Universitas Gadjah Mada juga berkontribusi besar atas keyakinannya akan berhasil di bisnis ini.

Hingga hampir 10 tahun sejak berdiri, perusahaan yang dibangun Heru kini telah memegang hak distributorship untuk puluhan merek peralatan sistem keamanan dan menjadi perusahaan aplikator sistem keamanan dengan klien tersebar di seluruh negeri.

Sementara untuk mendukung hobinya bermusik dan menemukan bibit-bibit musikus, ia juga mendirikan Micvi Entertainment, sebuah label musik.

Saat ini, label ini mengelola artis cilik Calista Amadea dan group musik kanak-kanak Lovely Kids.

Cita-citanya saat ini adalah menemukan anak-anak atau membangun group vokal anak laki-laki.

Ia mendistribusikan CD lagu-lagunya melalui jaringan Toko Gramedia, sedangkan untuk versi digitalnya bekerja sama dengan sebuah perusahaan di Perancis yang memiliki lebih dari 30 channel digital.

Lompatan Mengagetkan

Dibandingkan Cynthia atau Heru, keputusan Michael Ginarto (33) untuk melompat ke kolam entrepreneurship malah lebih mengagetkan sebagian besar kolega dan rekan bisnisnya.

Sebelum memulai bisnisnya sendiri, dia adalah Country Director untuk Crown Group Indonesia. Ini adalah perusahaan properti terkemuka di Australia yang didirikan oleh pengusaha asal Indonesia, Iwan Sunito.

Di perusahaan ini, Michael bersama timnya berhasil menorehkan prestasi yang tak kecil. Suatu saat, Crown Group berhasil mencatat penjualan senilai kurang lebih 3,8 triliun rupiah hanya dalam waktu satu hari.

dokumen pribadi Michael Ginarto
Michael bersama timnya di Indonesia menyumbangkan penjualan sekitar 430 miliar rupiah. Penjualan properti senilai mendekati 0,5 triliun di Indonesia, boleh jadi menjadi salah satu rekor penjualan tertinggi dalam waktu tersingkat yang pernah terjadi di Indonesia.

Suatu malam, sebuah peristiwa rohani menghampirinya. Ia merasa ditunjukkan sebuah visi oleh Tuhan untuk membangun sebuah wadah untuk membantu lebih anak-anak terlantar dan anak-anak difabel. Tercenung dia mendapatkan peristiwa semacam itu.

Maka, segera saja ia membangun sebuah yayasan yang dinamai Blessmore Foundation. Ia menyisihkan sebagian penghasilannya untuk yayasan ini, menghidupi organisasi sosial ini, termasuk membagikan sebagian pendapatan yang ia peroleh dari pekerjaannya lewat yayasan ini.

Ia kemudian menyadari perlunya memiliki kapal sendiri, supaya ia bisa membantu anak-anak lebih banyak dan lebih besar lagi.

Maka, pada awal tahun 2016 lalu, ia memutuskan untuk membangun sebuah bisnis berjaringan (network marketing), yang menawarkan produk-produk kesehatan dan kecantikan dengan nama Glamore di bawah payung usaha PT GIN International.

Melalui kapal barunya tersebut, ia yakin bahwa visi hidupnya untuk menjadi saluran berkat (bless) yang lebih besar (more) dapat ia wujudkan.

Michael memang masih harus membuktikan bahwa bisnis baru yang dirintisnya ini benar-benar sebuah kapal yang kokoh dan mampu berlayar hingga jauh.

Untuk itu, meskipun GIN International boleh dibilang masih tahap infancy, Michael membangun timnya dengan panel experts yang solid, pengelolahan keuangan yang kuat, tim manajemen yang mengantongi pengalaman puluhan tahun, dan juga support system yang menunjang kesuksesan seluruh jaringan.

Hasil yang dituai dengan strategi tersebut, dalam waktu kurang dari 6 bulan, GIN International telah mempunyai 15 cabang yang tersebar di kota-kota seperti Bandung, Medan, Lampung, Makassar, Solo, Surabaya, Serpong, Bekasi, Jakarta. Beberapa kota lainnya sudah menunggu untuk dibuka.

Diawali visi dan misi yang jelas dan mulia, leadership yang mapan, Michael bercita-cita menjadikan GIN International perusahaan network marketing yang patut diperhitungkan.

Pembuktian

Jika Cynthia dan Heru sudah membuktikan diri mampu mengemudikan kapalnya sendiri selama hampir sepuluh tahun, Michael masih memerlukan batu uji untuk membuktikan bahwa keputusannya untuk mengarungi kolam kewirausahaan adalah keputusan yang tepat untuk mengejar impian mereka sendiri.

Biasanya, tolok ukur yang paling mudah untuk menguji adalah waktu. Jika sebuah bisnis mampu bertahan selama 3 tahun berturut-turut, maka bisnis tersebut dapat dikatakan punya potensi untuk dikembangkan menjadi lebih besar lagi.

Bahkan untuk bisnis-bisnis tertentu seperti kuliner, indikator itu sudah dapat tercium pada 3-6 bulan sejak dimulainya usaha.

Dalam konteks bisnis yang dikembangkan oleh Michael Ginarto yakni kesehatan dan kecantikan, potensi pertumbuhan bisnis ini sangatlah besar, yakni akan mencapai tak kurang dari 250 triliun pada tahun 2019 mendatang.

Tantangannya adalah bagaimana meraih kue yang sebesar itu dan strategi apa yang tepat untuk dipilih. Termasuk juga strategi marketingnya yang memilih menggunakan model jaringan.

Bagaimanapun, persepsi publik selama ini terhadap bisnis berjaringan semacam multi level marketing atau network marketing dapat dikatakan sinis, bahkan cenderung negatif.

Tantangan terbesarnya adalah bagaimana membangun kredibilitas antara impian yang dijanjikan dengan kenyataan yang dihadapi dalam situasi bisnis berjaringan yang seringkali tercemar dengan unsur penipuan dan semacamnya.

Dalam hal ini, Michael berpegang pada jawaban Bill Gates dan Warren Buffet ketika mereka ditanya dengan kalimat “Jika Anda punya kesempatan kedua untuk membangun bisnis, bisnis apa yang akan Anda jalankan?” Keduanya memberikan jawaban yang sama: network marketing.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com