Tahun ini, uang kas tidak selalu tersedia mengingat belanja negara sudah lebih besar dari uang yang diterima negara.
Hingga akhir Mei 2016, belanja negara sudah mencapai Rp 685,8 triliun, sementara penerimaan hanya sebesar Rp 496,6 triliun.
Artinya, begitu ada uang masuk dari pajak atau pos lainnya, langsung habis untuk belanja rutin dan infrastruktur.
Bahkan pemerintah harus berutang untuk membiayai belanja negara yang agresif. Hingga akhir Mei 2016, pemerintah sudah menghabiskan utang sebesar Rp 189,1 triliun untuk membiayai belanja.
Namun, meskipun tak ada uang di kas pemerintah, tentu saja gaji ke-13 dan ke-14 tetap akan dibayarkan karena itu merupakan komitmen pemerintah.
Sebelum pencairan gaji ke-13 dan ke-14 itu tiba, pemerintah dipastikan sudah mempersiapkan utang baru, salah satunya dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN).
APBN-P 2016
Karena target anggaran dalam APBN 2016 tak mungkin tercapai, pemerintah pun mengajukan revisi dalam bentuk APBN-P 2016.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika APBN-P menjadi ajang untuk memperbesar target penerimaan dan belanja, pada tahun 2015 dan 2016, APBN-P menjadi ajang pemotongan anggaran untuk meluruskan target awal yang ambisius dan kurang realistis.
Pada APBN-P 2016, besaran pendapatan negara diturunkan dari Rp 1.822,54 triliun dalam APBN 2016 menjadi Rp 1.734,5 triliun.
Sementara belanja negara dipangkas dari Rp 2.095,72 triliun menjadi Rp 2.0447,84 triliun.
Meskipun telah dipotong sekitar Rp 88 triliun, target penerimaan negara dalam APBN-P 2016 tetap tak mudah untuk dicapai.
Pasalnya, target penerimaan tersebut sudah memperhitungkan tambahan pendapatan negara dari pemberlakuan UU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.
“Dengan adanya kebijakan baru seperti tax amnesty/voluntary disclosure, target PPh nonmigas diperkirakan akan tetap tercapai bahkan melebihi target dalam APBN tahun 2016. Dengan memperhitungkan tambahan pendapatan dari tax amnesty/voluntary disclosure maka pendapatan PPh nonmigas dalam RAPBNP tahun 2016 diharapkan mencapai Rp 819,49 triliun atau meningkat 14,5 persen dari target dalam APBN tahun 2016,” demikian tertulis dalam Nota Keuangan Rancangan APBN-P 2016 yang diajukan pemerintah ke DPR.
Pemerintah tidak menyebutkan berapa persisnya dana yang akan diperoleh dari Tax Amnesty. Namun, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro beberapa kali mengatakan potensi dana yang bisa diperoleh mencapai Rp 165 triliun.
Dana tersebut berasal dari uang tebusan yang harus dibayarkan pemohon Tax Amnesty kepada negara.
Berdasarkan data yang diungkap Kementerian Keuangan, saat ini ada sekitar 6.519 WNI dengan total kekayaan sekitar Rp 4.000 triliun yang disimpan di luar negeri.
Aset Rp 4.000 triliun tersebut tidak pernah dilaporkan oleh si empunya sehingga tidak pernah dibayarkan pajaknya.
Nah, dengan adanya Tax Amnesty, pemerintah berasumsi seluruh aset itu akan dilaporkan.
Jika tarif tebusan misalnya sekitar 4 persen dari nilai aset, maka pemerintah akan mengantongi sekitar Rp 160 triliun.
Nah masalahnya, hingga sekarang, pembahasan UU Tax Amnesty di DPR masih alot dan jauh dari kata selesai.
Artinya, jika tax amnesty gagal diberlakukan, maka realisasi penerimaan negara di akhir tahun akan jauh meleset.
Kalaupun tax amnesty jadi diberlakukan, jumlah yang diperoleh pemerintah pun belum tentu mencapai Rp 165 triliun seperti yang diungkapkan Menteri Bambang.
Sebab, Bank Indonesia yang biasanya lebih realistis dalam melakukan kalkulasi, memperkirakan potensi uang tebusan Tax Amnesty hanya sekitar Rp 45,7 triliun.