Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alois Wisnuhardana
Penulis

Penulis dan penyuka petualangan bersepeda. Memulai kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, tapi menyelesaikannya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pernah menjadi Pemimpin Redaksi pada Majalah IDEBISNIS, Apartment Guide, iDEA, Tabloid RUMAH, dan Tabloid PCplus.

Wirausaha Kuliner: Pengalaman Kedai Tjikini dan Organic Fried Chicken

Kompas.com - 17/06/2016, 08:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Bisnis kuliner, adalah bisnis yang menakjubkan.

Sebagian orang menganggap bahwa bisnis ini nggak ada ruginya. Di mana-mana warung makan dan restoran selalu dibutuhkan orang. Karena dibutuhkan, sudah pasti tidak akan merugi. Begitu logika sederhananya.

Sebagian orang berpandangan, bisnis kuliner adalah bisnis menggiurkan. Bagaimana tidak menggiurkan? Tiap hari orang butuh makan. Dan manusia yang butuh makan itu, dari hari ke hari terus bertambah jumlahnya.

Ada pula yang menilai bisnis ini menjanjikan untung besar. Bahan baku dan bumbu-bumbu, biasanya cuma bernilai 10-20 persen dari harga jual. Tenaga kerja, tak lebih dari 20%. Taruhlah 10% lagi adalah biaya tempat, promosi, dan lain lain, maka masih ada 50% keuntungan yang bisa diraup. Itu minimal.

Begitulah kalkulasi di atas kertasnya.

Ada yang memandang bahwa bisnis ini juga mudah untuk dijalankan. Tinggal pilih mau jualan menu apa, cari peralatannya, cari tempatnya, cari orang atau tenaga kerjanya, sudah bisa langsung jalan.

Pandangan tersebut ada benarnya. Tapi seringkali lebih banyak bumbu atau pandangan stereotipe-nya. Pandangan yang menyesatkan. Penilaian yang tidak sesuai dengan realita sesungguhnya.

Jika diamati lebih teliti, di antara deretan warung dan resto di sebuah kawasan kuliner, biasanya ada sirkulasi tenant yang berganti-ganti.

Simak saja misalnya kawasan resto di daerah bulevard Pantai Indah Kapuk, Jakarta utara. Begitu juga kios-kios atau food court yang banyak menjamur di berbagai pusat keramaian di kota besar. Di mall ataupun di jalanan. Ada perputaran yang tak terlalu kasat mata, tetapi bisa dibuktikan kebenarannya.

Sekilas, perputaran ini tak terlihat oleh mata awam. Yang terlihat di mata publik adalah, tempat itu senantiasa ramai. Padahal, di balik keramaian itu, ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan manusia yang pernah menjajal peruntungan di sana, lalu tak pernah kembali lagi.

Indikator

Bagaimana menakar prospek usaha kuliner di suatu tempat? Bagaimana mengendusnya? Bagaimana memprediksinya?

Salah satu indikator yang dapat digunakan adalah formula 3-6-12. Formula apa ini? Ini adalah formula sederhana bersatuan bulan.

Indikator wangi tidaknya bisnis kuliner, biasanya sudah dapat diraba dalam 3 bulan pertama. Jika dalam 3 bulan pertama saja baunya sudah tercium wangi, maka langkah berikutnya adalah meningkatkan promosi.

Jika dalam 3 bulan pertama baunya datar atau cenderung pahit, yang biasa dilakukan adalah menggenjot promosi lebih kencang untuk 3 bulan berikutnya.

Jika setelah 6 bulan belum ada tanda-tanda bau wangi muncul, yang bisa dilakukan adalah meningkatkan promosi secara lebih kencang, sembari mengimprovisasi atau memvariasi menu yang dijual. Bisa menambah. Bisa mengubah. Lalu ditakar dan dievaluasi lagi setelah bisnis masuk ke umur 12 bulan.

Di antara bisnis kuliner yang jatuh bangun dan timbul tenggelam, dua nama berikut ini bisa menjadi tempat menimba ilmu, bagaimana melewati momen-momen kritis sebuah bisnis kuliner: Kedai Tjikini dan Organic Fried Chicken alias O’Chicken.

Keduanya praktis sudah melewati masa-masa tersulit dalam bisnis kuliner. Sekarang, yang mereka lakukan adalah terus berimprovisasi dalam proses bisnis dan berekspansi dalam pengembangan outlet.

Tjikini: Mewujudkan Mimpi Lama

Digagas dan dieksekusi berempat oleh Dharmawan Handonowarih, Heni Wiradimaja, Enrico Halim, dan Leo Fabian, Kedai Tjikini adalah kombinasi antara ilmu memasak menu rumahan warisan sang ibu, kecintaan terhadap furnitur-furnitur lawasan, dan keterpesonaan pada dunia desain interior dan tata ruang kota.

dokumen pribadi Dharmawan Handonowarih alias Dehawe, co founder Warung Tjikini
Dehawe, panggilan sehari-hari Dharmawan, punya keterampilan memasak berkat ilmu dari sang ibu.

“Ibu saya adalah tukang masak sejati. Setiap hari ia memasak menu yang berbeda. Dari sayuran, daging, sampai ikan. Ia juga membuat kue, membuat macam-macam minuman, selai, manisan, puding, tapai, tumpeng, dan banyak lagi. Menu-menu rumahan gitu,” paparnya.

Ketika mimpi punya warung makan itu mau diwujudkan, Dehawe melongok pada romantisme menu rumahan tadi. Ia ingin keluar dari pakem warung makan mainstream yang rata-rata menawarkan menu mie, pecel lele dan ayam goreng, atau nasi goreng.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com