Di sana para pekerja bertugas secara bergiliran dengan 12 hari di lokasi lepas pantai dan 12 hari berikutnya libur. Solidaritas teman-teman seprofesi menjadi salah satu cara mereka tetap tangguh di pekerjaan sembari menjalankan ibadah puasa.
"Lihat sisi terang dari semua peristiwa" pun menjadi ungkapan yang mendapatkan tempat di sini. Setidaknya bila merujuk pendapat Yosdevi Herman, pekerja di anjungan lepas pantai yang sudah sembilan tahun menjalani pekerjaannya itu.
Seiring waktu, kebersamaan menjalankan tantangan yang sama dengan teman-teman, misalnya, telah menghadirkan "keluarga kedua" bagi Yosdevi.
"Suasana sepi dan jauh dari hiruk pikuk Jakarta membuat ibadah jauh lebih khusyu," tuturnya.
Soal rindu dengan keluarga yang berjauhan, sekarang sudah lebih dimudahkan dengan kehadiran teknologi telepon genggam. Dulu, pekerja satu anjungan harus mengantre bergantian menggunakan satu telepon untuk itu.
Namun, ada aturan yang harus ditegakkan pula.
"Penggunaan telepon genggam hanya dibatasi di ruang aman di anjungan," kata Yosdevi.
Aktivitas di anjungan pun diakui tak berbeda antara hari-hari pada Ramadhan dengan bulan lain. Tak ada cerita bobot tanggung jawab pekerjaan dan risikonya menjadi berkurang di tengah lautan.
"Namun, saya selalu mengingatkan teman-teman untuk tidak memaksakan diri dan istirahat sejenak saat lelah untuk kembali menyegarkan diri dan fokus dalam bekerja," ujar Offshore Installation Manager (OIM) Jimmy Juliandhika yang bertugas memimpin pekerja di anjungan Uniform.
Salah satu yang juga diupayakan Jimmy adalah penukaran jadwal libur bagi para pekerja muslim di anjungannya pada hari raya.
Mayoritas asing?
Betul, anjungan lepas pantai memang banyak mempekerjakan orang Indonesia yang juga mayoritas muslim. Anggapan bahwa ranah pekerjaan ini didominasi orang asing kebanyakan merupakan salah kaprah yang bermula dari kehadiran Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) penggarap proyek pemerintah.
Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) bekerja berdasarkan kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC). Menurut kontrak ini, pemilik proyek hulu migas adalah negara, sedangkan perusahaan—baik nasional maupun asing—bertindak sebagai kontraktor yang mengoperasikan proyek negara itu.
Karena proyek negara, semua program kerja Kontraktor KKS harus mendapat persetujuan dari pemerintah yang diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Persetujuan tersebut mencakup pula rencana penggunaan tenaga kerja, baik dari Indonesia maupun asing. Dari persetujuan itu akan keluar rekomendasi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Tenaga Kerja.