Kondisi ekonomi Indonesia pada triwulan II 2016 masih lemah meskipun sudah lebih baik dari triwulan-triwulan sebelumnya.
Kinerja ekspor dan investasi belum bisa diharapkan. Begitu pula dengan konsumsi.
Belanja pemerintah yang digadang-gadang dapat menghela pertumbuhan, juga tidak optimal karena seretnya penerimaan pajak.
Dalam kondisi ekonomi yang tengah loyo seperti saat ini, industri perbankan sebenarnya bisa dijadikan tumpuan.
Dengan fungsi intermediasinya, perbankan bisa menyalurkan kredit ke pelaku-pelaku usaha kelas kecil dan menengah yang membutuhkan modal.
Dengan demikian, aktivitas ekonomi akan terus berputar sehingga bisa mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi.
Sayangnya, perbankan Indonesia belum bisa berperan sebagai lokomotif pembangunan.
Sebagian besar bankir Indonesia masih menganut paradigma bank follow the trade.
Artinya, bank hanya mau menyalurkan kredit ke sektor-sektor atau daerah-daerah yang aktivitas perdagangannya atau ekonominya tengah bertumbuh.
Akibat mengikuti paradigma ini, kinerja perbankan akan sangat tergantung pada kondisi perekonomian.
Jika kondisi ekonomi sedang bagus, maka kinerja bank akan terdongkrak. Namun, jika perekonomian lesu, kinerja bank juga bakal anjlok.
Terbukti, seiring lesunya perekonomian saat ini, kinerja perbankan nasional sangat terpuruk.
Posisi (outstanding) kredit perbankan nasional per akhir Mei 2016 sebesar Rp 4.070, tumbuh hanya 8,3 persen dibandingkan periode sama tahun 2015 yang sebesar Rp 3.757 triliun.
Sudah 3 tahun, sejak 2014, pertumbuhan kredit perbankan seolah mampet akibat lesunya perekonomian.
Padahal, kecuali tahun 2009, pertumbuhan kredit perbankan nasional selama periode 2002 – 2013 selalu di atas 20 persen.