Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dradjad H Wibowo
Ekonom

Ekonom, Lektor Kepala Perbanas Institute, Ketua Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI), Ketua Pendiri IFCC, dan Ketua Dewan Pakar PAN.

"Reshuffle" Jilid 2 Memperkuat Sistem Presidensial, tetapi...

Kompas.com - 28/07/2016, 12:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Dalam tulisan atau komentar pada kurun 2000-2001, saya memperkenalkan istilah KW milik John Williamson ini.

Saya selalu sebutkan, KW akan menaikkan ketimpangan ekonomi; membuat sumber daya Indonesia banyak dikuasai asing dan segelintir konglomerat tertentu; pelaku sektor keuangan banyak dilindungi dan diuntungkan; pelaku sektor riil, usaha kecil, petani dan pekerja dirugikan; dan Indonesia tidak bisa lepas dari utang luar negeri.

Silakan dinilai sendiri apakah analisis saya terbukti atau tidak.

Itu sebabnya, sejak dulu saya selalu mengkritisi keras kebijakan ekonomi dari Menko Perekonomian/Menkeu Boediono, Plt Menko Perekonomian/Menkeu Sri Mulyani, Menneg BUMN Laksamana Soekardi, dan sebagainya.

Namun, saya juga tidak segan memuji Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko Perekonomian Hatta Radjasa, Menkeu Agus Martowardojo, dan Menkeu Bambang Brodjonegoro, ketika mereka mengambil kebijakan reformis yang tidak hanya "copy-paste" 10 butir KW.

China bisa, kenapa Indonesia tidak?

Biar tidak terlalu abstrak, saya ambil contoh daging sapi.

Sumber masalahnya adalah pasokan kalah jauh dari permintaan. Solusi KW adalah buka impor sebebasnya, naikkan volumenya, pangkas tarif dan biaya-biayanya.

Sementara itu saya meyakini, kita masih bisa menaikkan produksi dalam negeri dengan harga yang bersaing. Kita hanya perlu "berpikir di luar kotak KW".

Contohnya, kenapa program Dana Desa tidak kita kaitkan dengan peningkatan pasokan daging sapi? Pada 2016, APBN mengalokasikan hampir Rp 47 triliun Dana Desa.

Setiap desa mendapat jatah alokasi dasar sekitar Rp 566 juta, ditambah alokasi tambahan yang dihitung berdasarkan formula. Jumlah desa adalah 74.754 desa.

Kenapa setiap desa tidak ditugaskan membeli sapi bakalan dan melakukan penggemukan minimal 3 ekor sapi? Silakan dihitung sendiri tambahan pasokannya.

Menkeu Sri Mulyani jilid 1 berada sangat di "kanan", sangat KW. Pelaku pasar keuangan jelas senang.

Terlebih lagi, mereka—pelaku pasar keuangan—bisa memegang obligasi dalam dollar AS dengan kupon belasan persen. Saya pun suka. Hanya tidak tega saja membelinya. Bonus pertumbuhan ekonomi dari sektor keuangan juga bisa diperoleh.

Ringkasnya, sektor keuangan dan para pelakunya mungkin bisa tumbuh lebih cepat.

Namun, rakyat kita kan bukan hanya para elite pelaku sektor keuangan. Dan bukan hanya para birokrat sipil yang diuntungkan oleh reformasi birokrasi—yang mendapat kenaikan tunjangan signifikan, menambah beban negara, tapi tanpa kenaikan produktifitas yang berarti.

Karena itu, saya berharap Menkeu Sri Mulyani jilid 2 akan lebih "ke tengah". Ketika pulang, Menkeu berbicara tentang ketimpangan.

Kebijakan Menko Perekonomian/Menkeu Boediono dan Plt Menko Perekonomian/Menkeu Sri Mulyani dulu berkontribusi terhadap ketimpangan ini. Mudah-mudahan Menkeu jilid 2 bisa mengatasinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com