Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/07/2016, 07:47 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

Hendar melakoni dunia seni ini hingga 2009. “Sampai bisnis tenun orangtua bangkrut. Saya disuruh balik,” kata dia.

Untungnya, Hendar punya kebiasaan menabung selama bermusik, meski dia hanya mendapatkan sekitar Rp 300.000 setiap kali tampil.

Bermodal tabungan, Hendar bertekad menghidupkan lagi bisnis orangtuanya. "Tidak rela (kalau usaha itu mati)," ujar dia.

Dari nol

Pulang kampung, tekad Hendar menghidupkan usaha keluarga dimulai dengan pendampingan dari orangtua dan saudara.

"Pengetahuan saya soal tenun masih nol besar,” ucapnya.

Saat itu, hasil produksi usahanya masih terbatas. “Masih bikin tenun putihan—tanpa warna—saja,” imbuh lelaki dua anak ini.

Tantangan yang Hendar rasakan adalah kurangnya minat pembeli. Sekalipun hanya dua kelompok tenun di Garut, dia merasakan benar sulitnya mengembangkan usaha.

Sampai, ungkap Hendar, pada 2011 ada peluang mendadak datang.


"Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Cita Tenun Indonesia (CTI) ingin menjadikan kawasan ini sebagai desa wisata tenun,” tambahnya.
 
Dia pun rajin ikut pelatihan dan diskusi yang digelar kedua institusi.

“Cita-cita yang ditanamkan saat itu adalah bagaimana caranya menghidupkan kembali citra tenun ikat Garut yang terlupakan,” ungkap Hendar.
 
Sejak itu, dibuat beberapa kelompok binaan. Pelan-pelan, inovasi tenun pun bermunculan.

Motif tenun sebagai identitas Garut lalu dibuat, yaitu motif bunga besar-besar dan berwarna.
 
PGN, kata Hendar juga menyediakan fasilitas bagi kelompok perajin tenun. Fasilitas itu mulai dari alat-alat membuat kain tenun, hingga bengkel kerja.

(Baca: Dari Tangan "Mantan" Petani, Kain Tenun Garut Berjaya Lagi...)
 
“Sekarang ada 12 kelompok (tenun),” ujar Hendar.
 
Cita-cita yang semula terasa jauh di awang-awang, perlahan mewujud dan berlanjut. Tenun ikat semakin diminati, bahkan di kalangan anak muda.

(Baca: Arti Pilihan "Orang Atas" Buat Pasar Kain...)
 
“Sejak itu, saya ingat, tenun bukan hanya dipakai orang (berusia) tua. Banyak yang pakai. Terlebih lagi kalau pejabat yang pakai, tenun kami jadi semakin laku,” tutur Hendar.
 
Lima tahun berlalu. Hendar boleh berbangga hati.
 
“Pendapatan per bulan puluhan juta (rupiah), omzet bisa sampai ratusan juta (rupiah),” ungkap lelaki ini.
 
Namun, dari semua pengalamannya, Hendar berpesan bahwa tak pernah ada sesuatu yang mudah didapatkan.

Tekad dan upaya yang tak mudah patah arang adalah modal awal yang harus dipegang teguh untuk setiap usaha.

KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI Salah satu perajin tengah membuat kain tenun ikat sutra di Kampung Panawuan, Desa Sukajaya, Kecamatan tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat , Kamis (19/5/2016).

Saat ini, kebanyakan karyawan Hendar adalah anak muda yang baru saja tamat sekolah menengah atas (SMA). Bertani tak lagi menjadi satu-satunya pilihan kerja anak-anak muda di kampungnya selain buruh pabrik.

(Baca: Para Lelaki di Balik Halus Tenun Sutra Garut...)

Lembaran-lembaran kain dari jalinan benang sutra menjadi sumber baru untuk pendapatan mereka. Pekerja Hendar menerima upah Rp 400.000 sepekan atau Rp 1,6 juta per bulan.

Jangan melihatnya dari kaca mata Jakarta atau kota besar. Di Garut, upah minimum regional (UMR) pada 2016 masih di bawah Rp 1,5 juta.

Jadi, sekarang tak harus lagi anak-anak muda Garut memastikan asap dapurnya mengepul dengan merantau jauh-jauh ke Kalijodo seperti Hendar dulu....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Whats New
Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Whats New
Program Peremajaan Sawit Rakyat Tidak Pernah Capai Target

Program Peremajaan Sawit Rakyat Tidak Pernah Capai Target

Whats New
Cara Cetak Kartu NPWP Hilang atau Rusak Antiribet

Cara Cetak Kartu NPWP Hilang atau Rusak Antiribet

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com