Pengenalan sejak dini
Ilustrasi contoh di bawah ini hanya untuk menggambarkan perjalanan sebuah merek, tak ada maksud untuk memberi dukungan pada industri atau produk tertentu. Sekali lagi, terlepas dari adanya pro dan kontra terkait industri rokok, kita bisa mengambil sekadar contoh bagaimana sebuah produk itu dibangun dari bawah.
Pada era 1980-an, para perokok umumnya mengonsumsi rokok kretek utuh (SKT – Sigaret Kretek Tangan) atau filter (SKM – Sigaret Kretek Mesin).
Saat itu produk kategori mild belum ada dan rokok putih (SPM – Sigaret Putih Mesin) kecil sekali jumlah konsumennya. Sehingga pangsa pasar rokok dikuasai oleh rokok-rokok kretek nasional dengan usia pelanggan dewasa saat itu.
Ketika A-Mild muncul dengan kategori rokok mild justru yang menyambut baik kehadirannya adalah kelompok pelanggan usia muda dan remaja.
Kelompok pelanggan dewasa tetap pada pilihannya dan merasa bahwa rokok mild terlalu ‘enteng’ untuk dapat disebut rokok kretek. Hari ini, jumlah perokok kategori mild telah melebihi perokok lainnya.
Di luar pro-kontra industri rokok yang ditujukan untuk konsumen remaja (bahkan ada yang menyebut anak-anak), saya melihat bahwa pengenalan sebuah produk sejak dini dapat membangun loyalitas yang tinggi di kemudian hari. Artinya, sebuah merek harus masuk dan menguasai benak pelanggan sejak usia dini.
Bahwa membangun loyalitas pelanggan itu butuh proses adalah alasannya. Nigel Hill (1996) menyebutkan ada enam tingkatan loyalitas pelanggan yaitu: (1) Suspect; (2) Prospects; (3) Customers; (4) Clients; (5) Advocates; dan (6) Partners.
Sebuah merek yang mampu memperkenalkan produknya sejak dini pada konsumen dapat mencapat tingkatan Advocates dan Partners, di mana pada tingkatan tersebut memiliki ikatan yang erat dengan merek sehingga mau merekomendasikannya pada orang lain.
Jadi saya dapat mengatakan bahwa kesuksesan Pokémon Go sesungguhnya telah mulai mereka bangun sejak mereka memperkenalkan Pokémon pada tahun 1995. The Pokémon Company kemudian menanamkan merek Pokémon lewat berbagai media seperti film animasi dan video game yang puncaknya adalah Pokémon Go di tahun ini.
Mimpi, imajinasi dan orisinalitas
Contoh lain, LEGO dikenal sebagai mainan kreatif sejak tahun 1949. Namun masalahnya kemudian adalah tidak ada seorang anakpun yang mau membongkar rangkaian LEGO yang telah mereka susun.
LEGO akhirnya hanya menjadi pajangan di meja belajar seorang anak, berdebu dan kemudian terlupakan ketika sang anak beranjak dewasa.
Awal tahun 2000-an, LEGO meraih kesuksesan (lagi) yang luar biasa setelah merilis LEGO karakter yang bekerja sama dengan Star Wars dan Harry Potter. LEGO kemudian tidak hanya hadir dan dipersepsikan sebagai mainan balok, namun juga hadir dalam media film animasi dan video game.
Kesuksesan LEGO sebenarnya hanyalah membangkitkan merek LEGO yang sudah jauh dikenal sebelumnya dengan memanfaatkan momentum hadirnya kembali film Star Wars dan fenomena Harry Potter. Saya tidak yakin LEGO karakter akan sukses jika sebelumnya LEGO belum dikenal banyak orang walaupun berkolaborasi dengan Star Wars maupun Harry Potter.