Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Inco Harper
Dosen Universitas Multimedia Nusantara

Dosen & Koordinator Konsentrasi Public Relations Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Pernah menjadi praktisi periklanan. Pencinta audiophile dan film-film hi-definition.

Pokemon Go, Memulai Loyalitas Pelanggan Sejak Dini

Kompas.com - 01/08/2016, 17:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Rome wasn't built in a day! Sesuatu yang penting memerlukan proses panjang, tidak bisa instan.

Hal itu pula yang terjadi pada Pokémon Go, yang dalam satu bulan ini menjadi fenomena di Indonesia dan belahan dunia lainnya. Sudah banyak orang Indonesia yang memainkannya, dan saya termasuk di dalamnya.

Keberhasilan yang seakan diraih dalam sekejap pasti mempunyai proses yang panjang sejak kelahiran Pokémon sendiri pada tahun 1995.

Sama seperti merek sukses lainnya, Pokémon membangun loyalitas pelanggannya tidak dalam waktu singkat.

Loyalitas pelanggan merupakan suatu proses panjang mulai dari pengenalan produk, ketertarikan, uji coba sampai dengan kepuasan yang berulang.

Jangka waktu setiap level dapat berbeda-beda antar konsumen dan sangat mungkin seorang konsumen berhenti sampai level tertentu saja dan tidak berlanjut ke level selanjutnya sehingga loyalitas tidak tercipta.

Penggunaan teknologi geolocation dan augmented reality dalam Pokémon Go sesungguhnya hanyalah sebuah cara cerdas untuk membangkitkan loyalitas pelanggan pada merek Pokémon itu sendiri, dan bukan merupakan penyebab.

Tahun 2014, Niantic telah merilis sebuah game yang menjadi cikal bakal Pokémon Go yaitu Ingress. Walau menggunakan teknologi yang mirip, namun Ingress tidaklah menciptakan sebuah kehebohan seperti Pokémon Go.

Dalam proses komunikasi pemasaran, sebuah produk yang berhasil biasanya mengombinasikan sebuah hal yang lama dengan cara-cara baru. Artinya, produk tersebut sebenarnya telah dikenal baik oleh pelanggan namun dibungkus dengan teknologi ataupun kisah-kisah baru.

Terlepas dari pro dan kontra terkait industri rokok, ada contoh lain bagaimana sebuah merek berusaha membangun loyalitas pelanggan sejak lama. Sebagai contoh adalah ketika Sampoerna meliris A-Mild pada tahun 1989.

Rokok kretek telah dikenal puluhan bahkan ratusan tahun di Indonesia, dan Sampoerna berhasil membungkusnya dengan teknologi dan kisah baru: Mild. Pada akhirnya, A-Mild berhasil membangun loyalitas pelanggan sampai hari ini.

Kotler & Keller (2006) menyatakan bahwa ada tiga hal yang menjadi indikator dari loyalitas pelanggan.

Tiga hal itu adalah (1) Repeat purchase, kesetiaan membeli produk secara berulang; (2) Retention, ketahanan sebuah merek terhadap hal-hal negatif yang dapat merusaknya; dan (3) Referrals, pelanggan merekomendasikan merek tersebut terhadap orang lain.

Dari ketiga indikator di atas dapat dilihat bahwa Pokémon Go memiliki ketiganya. Banyak orang yang memainkan Pokémon Go saat ini merupakan orang yang juga telah menikmati dan menyukai karakter Pokémon lewat film animasi dan video game-nya.

Mereka kemudian merekomendasikan Pokémon Go kepada orang lain, bahkan melakukan advokasi ketika banyak berita-berita negatif tentang Pokémon Go muncul.

Pengenalan sejak dini

Ilustrasi contoh di bawah ini hanya untuk menggambarkan perjalanan sebuah merek, tak ada maksud untuk memberi dukungan pada industri atau produk tertentu. Sekali lagi, terlepas dari adanya pro dan kontra terkait industri rokok, kita bisa mengambil sekadar contoh bagaimana sebuah produk itu dibangun dari bawah.

Pada era 1980-an, para perokok umumnya mengonsumsi rokok kretek utuh (SKT – Sigaret Kretek Tangan) atau filter (SKM – Sigaret Kretek Mesin).

Saat itu produk kategori mild belum ada dan rokok putih (SPM – Sigaret Putih Mesin) kecil sekali jumlah konsumennya. Sehingga pangsa pasar rokok dikuasai oleh rokok-rokok kretek nasional dengan usia pelanggan dewasa saat itu.

Ketika A-Mild muncul dengan kategori rokok mild justru yang menyambut baik kehadirannya adalah kelompok pelanggan usia muda dan remaja.

Kelompok pelanggan dewasa tetap pada pilihannya dan merasa bahwa rokok mild terlalu ‘enteng’ untuk dapat disebut rokok kretek. Hari ini, jumlah perokok kategori mild telah melebihi perokok lainnya.

Di luar pro-kontra industri rokok yang ditujukan untuk konsumen remaja (bahkan ada yang menyebut anak-anak), saya melihat bahwa pengenalan sebuah produk sejak dini dapat membangun loyalitas yang tinggi di kemudian hari. Artinya, sebuah merek harus masuk dan menguasai benak pelanggan sejak usia dini.

Bahwa membangun loyalitas pelanggan itu butuh proses adalah alasannya. Nigel Hill (1996) menyebutkan ada enam tingkatan loyalitas pelanggan yaitu: (1) Suspect; (2) Prospects; (3) Customers; (4) Clients; (5) Advocates; dan (6) Partners.

Sebuah merek yang mampu memperkenalkan produknya sejak dini pada konsumen dapat mencapat tingkatan Advocates dan Partners, di mana pada tingkatan tersebut memiliki ikatan yang erat dengan merek sehingga mau merekomendasikannya pada orang lain.

Jadi saya dapat mengatakan bahwa kesuksesan Pokémon Go sesungguhnya telah mulai mereka bangun sejak mereka memperkenalkan Pokémon pada tahun 1995. The Pokémon Company kemudian menanamkan merek Pokémon lewat berbagai media seperti film animasi dan video game yang puncaknya adalah Pokémon Go di tahun ini.

Mimpi, imajinasi dan orisinalitas

Contoh lain, LEGO dikenal sebagai mainan kreatif sejak tahun 1949. Namun masalahnya kemudian adalah tidak ada seorang anakpun yang mau membongkar rangkaian LEGO yang telah mereka susun.

LEGO akhirnya hanya menjadi pajangan di meja belajar seorang anak, berdebu dan kemudian terlupakan ketika sang anak beranjak dewasa.

Awal tahun 2000-an, LEGO meraih kesuksesan (lagi) yang luar biasa setelah merilis LEGO karakter yang bekerja sama dengan Star Wars dan Harry Potter. LEGO kemudian tidak hanya hadir dan dipersepsikan sebagai mainan balok, namun juga hadir dalam media film animasi dan video game.

Kesuksesan LEGO sebenarnya hanyalah membangkitkan merek LEGO yang sudah jauh dikenal sebelumnya dengan memanfaatkan momentum hadirnya kembali film Star Wars dan fenomena Harry Potter. Saya tidak yakin LEGO karakter akan sukses jika sebelumnya LEGO belum dikenal banyak orang walaupun berkolaborasi dengan Star Wars maupun Harry Potter.

Di era Internet dan media sosial sekarang ini, tidak mudah untuk menjadi A-Mild, LEGO, dan Pokémon selanjutnya. Calon pelanggan yang dituju datang dari kohor milenial, sering disebut dengan Generasi Milenial ataupun Gen-Z, generasi yang lahir pasca tahun 1995.

Generasi di mana komputer tablet seringkali menggantikan aktivitas fisik permainan anak-anak.

Internet membuat informasi yang diterima generasi ini begitu beragam dan cepat. Apa yang menjadi tren hari ini dapat begitu ketinggalan jaman di bulan berikutnya. Untuk dapat memperkenalkan merek kepada Gen-Z ada lima hal yang perlu diperhatikan:

(1)    Jangan tanya mereka, dengarkan saja dan amati

Generasi Z memiliki keengganan untuk ditanyakan tentang sesuatu. Mereka biasa menjawab dengan singkat secara verbal. Jadi amati saja bagaimana mereka bersosialisasi di media sosial untuk dapat mengetahui keinginan mereka.

(2)    Perhatikan ragam media yang mereka gunakan

Kemunculan media sosial begitu cepat. Friendster, Multiply, Facebook, Twitter, Ask.FM, Youtube, Instagram, Path, Snapchat, Steller dan masih banyak lagi. Perhatikan aktivitas mereka di media sosial tersebut dan lihat siapa public opinion leader mereka, belum tentu seorang selebriti yang biasa muncul pada media tradisional seperti televisi.

(3)    Ketahui mimpi, imajinasi serta ketakutan terdalam mereka

Gen X mungkin memiliki mimpi untuk dapat menjadi eksekutif di perusahaan multinasional, namun Gen Z lebih senang memulai usaha online dari garasi mereka bersama dengan teman-teman sekolahnya. Mengetahui dan memahami apa mimpi, imajinasi dan ketakutan terdalam mereka terkadang membuat kita terkagum-kagum tak percaya.

(4)    Orisinalitas ide

James Dean dan Kurt Cobain mungkin keren pada zamannya. Tapi Gen Z tidaklah menganggap mereka spesial. Ide orisinal tidaklah berarti menciptakan sesuatu hal baru, namun bisa saja memunculkan hal lama dengan cara baru.

Pokémon Go jelas adalah contoh yang tepat untuk hal ini. VW Beatle dan Mini Cooper terbaru juga menjadi contoh hal lama yang diolah dengan cara baru sehingga dapat mencuri perhatian Gen Z.

(5)    Visioner, Back to The Future

Bagian tersulit dari memperkenalkan merek kepada Gen Z adalah menjadi seorang visioner. Kemampuan untuk dapat menebak bagaimana tren yang akan terjadi di masa depan, tentunya hal tersebut harus didukung dengan data, angka statistik dan juga intuisi.

 
Pokémon Go sesungguhnya adalah keberhasilan dari Niantic menggunakan nama besar Nintendo dan The Pokémon Company yang telah memiliki pelanggan yang loyal sejak lama.

Teknologi besutan Niantic seakan mendapat sasaran tembak yang jelas, yaitu pelanggan loyal Pokémon dan Nintendo. Jadi jangan merasa aneh jika pemain Pokémon Go banyak yang berasal dari Gen  X maupun Gen Y.

Sesungguhnya merek yang mulai memperkenalkan diri mereka pada Gen Z hari ini mungkin akan menuaikan hasilnya bukan sekarang, tapi di masa depan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com