Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendapat Tekanan dari Eropa, Ini Jawaban Asosiasi Kelapa Sawit Malaysia dan Indonesia

Kompas.com - 16/08/2016, 15:47 WIB
Aprillia Ika

Penulis

KUCHING, KOMPAS.com - Kritik terhadap pengelolaan lahan gambut dan penanaman sawit di atasnya mendapatkan banyak kritik dari negara Eropa. Apa jawaban para pemangku industri sawit dan lahan gambut di Malaysia dan Indonesia sebagai negara dengan jumlah lahan gambut terbesar di dunia?

Abdul Hamid Sepawi, Ketua Sarawak Oil Palm Plantation Owners Association, mengatakan bahwa setiap tanah pada dasarnya adalah media tanam, termasuk gambut.

"Yang namanya lahan gambut tetap tanah, dan bimenjadi media yang bagus untuk penanaman. Bahkan, emisi karbon untuk penanaman di lahan gambut lebih rendah dibandingkan lahan non-gambut," kata dia dalam konferensi pers di sela acara 15th International Peat Congress di Kuching Serawak Malaysia, Selasa (16/8/2016).

Menurut dia, di masa lalu, gambut tidak bisa ditanami karena belum ada teknologi untuk mengolah dan mengelolanya. Tapi kini, sudah ada teknologi melalui manajemen pengairan yang baik yang bisa membuat lahan gambut dimanfaatkan untuk kepentingan perekonomian.

Nah, bagaimana cara para emangku kepentingan di industri sawit mengatasi tekanan Eropa? Menurut Hamid, harus ada kebijakan media tanam baru, yakni lahan bisa ditanam tanaman baru selain sawit. Hal itu bisa berlaku di Malaysia dan Indonesia.

"Dulu soil density untuk gambut payah. Tanaman yang ditanam di gambut selalu ambruk. tapi dengan good drainage, good water management, lalu tanah dipadatkan, kemudian tanah gambut jadi layak ditanami," kata dia.

Selanjutnya, harus jelas ownership of the land, atau tanah gambut itu milik siapa? Menurut Hamid, kepemilikan harus jelas agar lahan gambut bisa dimasuki oleh industri. Sehingga bisa melakukan manajemen penanaman gambut yang baik dan berkelanjutan. Tidak hanya oil palm tetapi juga komoditas lain.

"Yang harus dipahami, ongkos produksi oil palm dibanding vegetable oil di Eropa, 50 persen lebih murah per tonnya. Misal 5 ton minyak dari 1 hektare lahan, tapi butuh dua kali lipat lahan untuk vegetable oil di Eropa. Ini politik di penanaman oil palm, yang ditakutkan oleh Eropa," tambah dia.

Selain itu ada non tariff barrier, yang membuat Eropa takut akan ketergantungan pada minyak di Asia Tenggara.

Cara lain yakni edukasi. Ini sangat penting bahwa oil palm sangat kritikal untuk ekonomi negara Indonesia, misal untuk pendapatan pajak untuk kemudian disalurkan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya. Ini yang menjadi key resource untuk rural ekonomi.

Pengertian lain yakni bagaimana perekonomian nasional bisa terangkat oleh gambut dan sawit dari sisi pajak. Sebab industri ini tidak disubsidi pemerintah tetapi menyumbang pajak. "Di Malaysia, 40 persen pajak disumbang oleh palm industri," kata dia.

Jawaban Gapki

Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengatakan bahwa dirinya sangat setuju dengan paparan dari Sarawak Oil Palm Plantation Owners Association. terutama, soal manajemen pengelolaan lahan gambut agar menjadi lahan siap tanam yang subur.

Menurut dia, keyword jawaban dari kritikan Eropa adalah masalah manajemen. Sebab di indonesia terdapat dua macam lahan gambut, yakni yang terkelola dan tidak terkelola.

Kalau korporasi pasti punya manajemen pengelolaan pengairan. Kalau gambut di kawasan hutan, yang managed harusnya government," kata dia.

Sebagai informasi, International Peat Congress merupakan kongres per empat tahun yang menjadi ajang pertemuan ilmuwan dan para ahli global di bidang gambut. Pada acaranya yang ke 15
ini, merupakan acara yang pertama kali diadakan untuk level Asia.

Kongres ini menyatukan ilmuwan lokal dan internasional, pembuat kebijakan, peneliti, anggota NGO, pemain industri penanaman dan pelaku industri agrikultur untuk mencari cara paling efektif mengutilisasi lahan gambut bagi kemajuan perekonomian masyarakat tanpa merusak lingkungan.

 

Kompas TV 8.147 Hektar Lahan Gambut Terbakar di Palangkaraya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com