Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Lahan Gambut di Indonesia Sering Terbakar? Ini Penjelasan Pakar IPB

Kompas.com - 18/08/2016, 14:39 WIB
Aprillia Ika

Penulis

KUCHING, KOMPAS.com - Sejumlah pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB) memberikan analisisnya mengapa lahan gambut di Indonesia sering terbakar atau rusak. Para pakar mengatakan lahan gambut yang sering terbakar merupakan lahan yang terbuka, tidak ada yang menjaga, serta tidak memiliki nilai.

Hal ini dipaparkan oleh Dodik Ridho Nurrochmat, pakar kebijakan kehutanan IPB, pada konferensi pers di sela acara 15th International Peat Congress 2016 di Kuching, Sarawak, Malaysia, Kamis (18/6/2016).

"Kebakaran lahan gambut biasanya yang terbengkalai, atau yang tidak ada pengelolanya. Kalau lahan itu punya nilai, pasti sudah masuk ke Hutan Tanaman Indonesia (HTI). Jika sudah masuk HTI, sudah ada yang mengelola dan memiliki nilai, buat apa dibakar?" kata dia.

Lantas apa yang harus dilakukan?

Dodik mengatakan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi rusaknya lahan gambut akibat kebakaran. "pertama, hindari open access atau lahan terbengkalai. Kedua, berikan nilai ke lahan tersebut supaya tidak dibakar," kata Dodik.

Nah, untuk memberikan nilai ke lahan gambut tersebut diperlukan teknologi tepat guna. Dengan demikian lahan juga tidak lagi terbengkalai. Namun, apapun teknologi yang diterapkan untuk mengelola lahan gambut harus memperhatikan tiga hal.

Pertama, teknologi yang bisa diterima masyarakat atau socially acceptable. Kedua, secara ekonomi menguntungkan atau economically feasible. Ketiga, environmentally acceptable atau ramah lingkungan.

"Prosesnya jangan terbalik dan harus berurutan. Dengan demikian bisa diterapkan teknologi terbaik di suatu wilayah yang memberikan kemanfaatan terbaik," pungkas dia.

Regulasi, Edukasi dan Teknologi

Pakar Ilmu Tanah IPB Supiandi Sabiham, menambahkan, regulasi dan kebijakan pemerintah yang tidak tegas turut berkontribusi membuat lahan gambut sering terbakar. Pasalnya, kebijakan pemerintah dalam mencegah kebakaran lahan, terutama di area gambut, tidak dilakukan secara komprehensif dan tegas.

Selain itu, sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan hutan yang terbakar, kurang mendapatkan edukasi tentang tata cara mengelola lahan gambut yang baik.

"Misalnya usaha perkebunan sawit, yang mana banyak pemain baru di industri sawit yang melakukan pembakaran lahan untuk melakukan penanaman sawit," kata Supiandi yang juga menjabat sebagai Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI).

Berbeda dengan Malaysia, para pemain baru di usaha perkebunan sawit nyaris tidak ada. Para pelaku usaha dan petani di negeri jiran telah memiliki pengetahuan yang cukup dalam mengelola perkebunan sawit di lahan gambut.

"Di Malaysia tidak dilarang untuk membakar lahan. Tapi, bagaimana cara membakar lahan? Nah ini yang diatur dengan tegas dan jelas oleh pemerintah Malaysia hingga ke tingkat desa," kata Supiandi.

Supiandi menambahkan, mengelola kawasan gambut yang baik adalah dengan menerapkan water management. Tata kelola air yang baik mampu mempertahankan kelembaban lahan gambut serta menjaga cadangan air untuk tanaman. Ini juga yang dilakukan di Malaysia.

"Kenapa kebakaran hutan sering terjadi di lahan petani? karena mereka tidak punya cukup uang untuk mengelola lahan perkebunan yang baik," kata dia.

Berdasarkan data HGI, Indonesia memiliki 15 juta hektare lahan gambut. Dari jumlah itu, sekitar empat juta hektare terpakai untuk kegiatan produksi. Sedangkan empat juta hektare lainnya terdegradasi dan dua juta hektare lain masih berupa semak belukar dan sisanya hutan.

Kompas TV Titik Api Kebakaran Lahan Sulit Ditempuh

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com