Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menteri Desa: Persoalan Ekonomi di Desa adalah Pengolahan Pasca-panen

Kompas.com - 22/08/2016, 10:00 WIB
Achmad Fauzi

Penulis

J: Kami hanya memfasilitasi terbentuknya lembaga usaha di level desa. Kami sudah berhubungan dengan dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Jadi kami sosialisasi supaya pengusaha-pengusaha bisa masuk ke desa. Nanti kami bisa bantu kemudahan-kemudahan untuk pengusaha yang ingin investasi di desa seperti pemberian kredit. Izin-izinnya juga lebih gampang, nanti dibantu oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

T: Boleh dielaborasi, seperti apa rencana pengusaha masuk desa?

J: Sarana pasca-panen mau tidak mau harus jalan. Prioritas kami berikan ke BUMN, karena tidak mungkin desa mampu bangun sarana pasca-panen. Bentunya bisa cold storage, gudang, pengeringan, pokoknya macam-macam. Itu kan investasi puluhan miliar.

T: BUMN mana saja yang diajak masuk membangun desa?

J: Pertama, Bulog, untuk petani mencari bibit tanaman komoditasnya. Kemudian Pertamina, karena BUMDes bisa jualan gas. Jadi kalau yang jualan BUMDes tidak mungkin gasnya dicolongin kan?.

Kemudian, Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) juga bisa masuk di pengolahan pasca-panen. Kami buat kawasan tebu yang nanti RNI bisa masuk.

Tetapi Indonesia besar, swasta aja yang masuk rebutan kalau ada barangnya. Kalau ada kompetisi, petani semakin diperhatikan. Kalau sarana pasca-panen banyak petani juga tidak terlalu ditekan. 

Seperti di Lampung, kenapa harga jagung selalu bagus? Karena pengeringan di Lampung banyak. Sepanjang jalan petani itu isinya pengeringan semua. Makanya petani tidak pusing, jagungnya bisa sukses.

T: Apakah ada tonggak sejarah baru yang ingin Anda capai sebagai Menteri Desa? 

J: Milestone yang saya lakukan adalah BUMDes-BUMDes yang bagus itu kami sempurnakan. Nantinya saya akan pakai untuk pelatihan di daerah desa belajar disitu.

Ada banyak BUMDes yang bagus. Di Jawa Tengah itu ada beberapa. Lampung juga ada, Aceh pun juga ada sampai mereka ekspor kopi ke Meksiko.

Kalau di Garut itu unik, satu kecamatan pemiliknya desa-desa, kepala desa jadi komisaris. BUMDesnya kerja sama dengan swasta bikin katering untuk industri disitu. Pegawainya ada 300 orang. Asetnya juga udah miliaran. Mereka bisa membangun keuntunganya sarana air minum sendiri. Nah itu yang model seperti itu yang kami tiru.

Satu lagi BUMDes di Garut ada sekolah untuk tukang cukur. Nah itu lebih sosial tuh karena sekolahnya gratis. Nah itu dilatih jadi tukang cukur hanya standar. Mereka minta dari Kemendes bantu guru Bahasa Inggris disitu, sehingga tukang cukur bisa berbahasa Inggris dan cukur di hotel berbintang atau mungkin bisa jadi tukang cukur di Singapura.

Sekolah cukurnya punya BUMdes dan itu produknya hasilkan ratusan tukang cukur. Tempatnya juga masih sederhana terbuka, ada gurunya dan alat peraganya. Nah ini karena kami libatkan pemerintahan daerah untuk  sediakan guru Bahasa Inggris. Mereka juga minta tempatnya lebih layak lagi.

T: Apakah perlu Pilot Project untuk milestone tersebut?

J: Kami tidak ada pilot project. Kami sekarang identifikasi bersama Kementerian Koperasi dan UKM, serta Gubernur-gubernur. BUMDes yang sudah maju dan kami jadikan model.

Karena BUMDes macamnya banyak tidak satu macam. Nanti tiap daerah kami lihat dan lakukan training serta koordinasi di BUMDes yang sudah jadi. Rata-rata kalau saya ke daerah, Gubernurnya minta daerahnya jadi Provinsi Percontohan.

T: Selain mendorong pengusaha masuk desa, apa ada upaya mendorong birokrat masuk desa?

J: Tadinya saya pikir begitu, tetapi setelah saya ketemu dengan salah satu birokrat, dedikasinya bagus dan yang penting pentunjuknya jelas. Mereka lebih canggih daripada swasta. Kami bantu untuk network juga di luar birokrasi. 

T: Apa saja permasalahan di desa-desa, saat ini?   

J: Permasalahan di desa itu beda-beda, makanya kami tidak punya program-program nasional. Kami harus mendengarkan pemimpin-pemimpin desa disana. 

Selain itu, dana alokasi desa bukan dari pusat saja. Pemerintah Pusat hanya kasih Rp 600 juta-Rp 800 juta per desa. Tetapi dari provinsi ada yang kasih Rp 500 juta-Rp 600 juta. Kalau dari kabupaten itu besar, dari Rp 200 juta- Rp 1 miliar.

Peruntukan pertama dari dana desa yakni untuk membangun infrastruktur. Kedua, untuk pengembangan pemberdayaaan ekonomi di desa. Banyak daerah, terutama di Jawa, yang infrastruktur udah cukup. Jadi jangan dipaksakan untuk bangun infrastruktur lagi. Tetapi lebih dipaksakan untuk pengembangan ekonomi desa. 

Dana Rp 1 miliar itu sebenarnya kecil untuk pembangunan ekonomi desa. Karena banyak daerah yang tidak dipaksakan untuk pertanian.

Jadi kami harus membuat suatu jasa atau industri kecil di daerah itu. Itu kami akan jadikan stimulus targetnya setiap desa nantinya punya lembaga keuangan yang bekerja sama dengan bank-bank untuk salurkan KUR.

Banyak bank yang sulit salurkan KUR, tetapi banyak masyarakat juga sulit dapatkan KUR karena kurang informasi. 

Untuk pengembangan BUMDes, kami akan kerja sama dengan Bank BUMN. Ibu Menteri Rini Soemarno juga mendukung supaya BUMDes bisa jadi channel link untuk salurkan KUR. Nantinya koperasi juga kami hidupkan. 

T: Menurut Anda, berapa besaran dana ideal untuk sebuah desa?

J: Sebenarnya kalau dihitung tidak ada idealnya, tetap masih kurang. Tetapi Rp 1 miliar bisa kami alokasikan untuk agen penyaluran KUR. Nah KUR bisa puluhan miliar.

Tahun depan kami dipatok anggarannya hanya Rp 71 triliun. Kalau dibilang cukup ya nggak cukup, tetapi kemampuan negara ya segitu ya mau gimana lagi? Makanya kami harus cari cara, bagaimana supaya stakeholder lain bisa masuk ke desa. 

Kuncinya, kami mesti memberdayakan potensi masyarakat bisa masuk ke desa. Nanti kalau desanya maju itu otomatis enterpreneur terbentuk. Misalnya kalau desanya maju kalau infrakstruktur finansialnya udah ada masyarakat bisa ajukan kredit untuk sewa truk, bisa ajukan kredit kepada warung. Nah, seperti itu udah berkembang.

Seperti kemarin ada transmigran teladan, saya terkejut ada transmigran yang tiga tahun lalu jadi tukang batu di Jakarta tetapi sekarang punya pendapatan Rp 750 juta per tahun. Lebih besar dibandingkan gaji Menteri. Ternyata dia tetap tanam komoditi dan dia punya jiwa entrepreneur, mengorganisir petani lain untuk jual hasil panen ke pasar-pasar. Itu daerah yang paling tertinggal. 

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com