Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Naik Tiga Kali Lipat, Dana Desa Rawan Diselewengkan Saat Pilkada

Kompas.com - 22/08/2016, 15:59 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Dana desa yang dialokasikan dalam RAPBN 2017 naik sekitar tiga kali lipat dibandingkan 2015.

Dengan dana mencapai Rp 60 triliun pada tahun depan, pengawasan penyaluran dana desa perlu diperketat.

Hajatan politik pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun depan disinyalir rawan menjadi ajang menghambur-hamburkan dana desa, tetapi tidak sesuai sasaran.

Manajer Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi pun meminta agar pengawasan dana desa ditingkatkan.

“Nah sekarang itu Kemendes belum punya model pengawasannya. Dikhawatirkan akan terjadi politisasi oleh pendamping-pendamping desa yang pro-politik,” tutur Apung kepada Kompas.com, Senin (22/8/2016).

Apung lebih jauh mengatakan, sebenarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah memiliki model pengawasan dana desa.

Namun, model pengawasannya lebih diarahkan pada indikasi atau dugaan tindak pidana.

Sementara itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi hanya memiliki satuan tugas dana desa. Itu pun, kata Apung, kinerjanya belum terlihat signifikan.

“Menurut saya perlu dites hasil kerja satgas itu. Kalau enggak ada, mending bubarkan saja,” ucap Apung.

Sebagai informasi, berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP), dana desa yang disalurkan tahun 2015 mencapai sebesar Rp 20,7 triliun. Sementara itu, dana desa dalam APBN-P 2016 meningkat menjadi Rp 46,9 triliun.

Pemerintah pun berencana menaikkan lagi dana desa tahun 2017. Dalam RAPBN 2017, dana desa dialokasikan sebesar Rp 60 triliun.

Fitra sendiri menerima beberapa laporan terkait realisasi penyaluran dana desa semester-I 2016 ini.

Salah satunya di Kabupaten Bangkalan Madura. Polisi melakukan operasi tangkap tangan kepada oknum camat yang melakukan penyunatan dalam proses pencairan dana desa.

Ternyata, hasil dari dana penyunatan tersebut dibagikan kepada beberapa oknum dan jaringan birokrasi.

Besar pemotongan mencapai Rp 110 juta per desa (ada 22 desa). Selain itu, berdasarkan temuan Fitra di 15 kabupaten, setidaknya terdapat kerugian mencapai Rp 4,9 miliar.

Rata-rata modus yang dilakukan aparatur desa adalah pemotongan anggaran, mark-up (penggelembungan anggaran), dan pemalsuan tanda tangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com