Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/08/2016, 09:54 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

Makan dan penghidupan

Sebagai petani, Sadir tiga kali memanen sawahnya. Setiap panen, dia mendapatkan hasil 1,5 ton gabah. Dengan harga jual Rp 450.000 per kuintal gabah, dia mendapatkan penghasilan sekitar Rp 20 juta per tahun.

Dari mengeruk batu kapur yang sudah matang dibakar, Sadir mendapatkan upah Rp 145.000 per hari kerja. Namun, dia tak tak bekerja di sini setiap hari.

(Lihat juga: Today's Photo: Industri Kapur, Saksi Kekayaan Sumber Daya Alam di Jawa Barat)

Setiap pekerja di perusahaan kapur tersebut bergiliran kerja dengan sistem sehari masuk dan sehari libur. Karenanya, dalam sebulan Sadir dan pengeruk lain seperti dia mendapatkan maksimal Rp 2,175 juta per bulan.

Bandingkan dengan upah minimum regional (UMR) Kabupaten Majalengka yang pada 2016 dipatok Rp 1,4 juta.

Hitungan angka-angka tersebut bisa jadi tak luput sebagai alasan warga setempat bekerja di industri kapur sembari tetap bertani.

Bertandang ke usaha perkapuran itu, jangan heran mendapati para lelaki berusia lebih dari 50 tahun hilir mudik mengangkat batu, baik dari hasil bakaran tungku atau batuan mentah untuk diangkut ke puncak tungku.

"Pekerjaan lain juga tak ada, terutama bagi kami yang sekolah paling tinggi sampai SD," ujar Jayadi, salah satu pekerja pengangkat batu kapur mentah ke puncak tungku.

Jayadi bekerja berkelompok enam orang. Dalam sistem kerja mereka, mengangkat satu ton batu mendapatkan upah Rp 240.000.

Di luar itu, Jayadi dan warga lain yang bekerja seperti dirinya, mendapat tambahan upah dari mengangkat batuan matang seperti Sadir. Bisa juga mereka mengangkat hasil gilingan batu kapur matang.

Meski terdengar berat, Sadir mengaku cukup menikmati pekerjaannya. “Lumayan (pendapatannya). Jam kerjanya juga santai. Sebagai pengeruk, saya bekerja satu jam keruk, lalu dua jam istirahat,” ujar dia.

Bukan tanpa risiko

Risiko jelas tetap ada di pekerjaan ini. Pekerjaan Sadir, misalnya, tak jarang para pekerja "menyenggol" batuan yang membara. Mereka pun harus berkonsentrasi memastikan runtuhan batu matang dari dalam tungku tak menimpa jari-jari kaki.

“Ini masih jauh lebih mudah karena pembakarannya sudah menggunakan gas alam. Kalau kayu bakar lebih susah lagi mengeruknya. Waktu kerja juga tidak bisa santai,” imbuh Sadir.

Puluhan tahun bekerja di industri ini, Sadir melewati beragam masa perkembangan "bakar-membakar" kapur.

(Baca juga: Sejumput Cerita dari Balik Debu dan Bara di Majalengka)

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com