Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/08/2016, 11:23 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

"Pemerintah memegang kepemilikan sumber daya migas sampai dengan titik serah (point of delivery)," ujar Kepala Bagian Program dan Pelaporan SKK Migas Taslim Z Yunus, dalam paparannya kepada para staf ahli Komisi VII DPR, Sabtu (4/6/2016).

Ibarat dapur bagi rumah besar bernama Indonesia, SKK Migas bertindak sebagai kepala koki yang memastikan pekerjaan di dapur berjalan lancar. Kontraktor KKS adalah para koki di dapur ini.

"Dalam praktik PSC, modal dan risiko merupakan tanggung jawab para Kontraktor KKS, termasuk pembelian peralatan yang diperlukan," kata Taslim.

Namun, lanjut dia, semua peralatan langsung menjadi milik negara begitu masuk teritori Indonesia.

Hitungan investasi

Kebutuhan investasi tak terlepas dari kondisi ketersediaan sumber daya alam Indonesia.

“Investasi migas sekarang makin ke arah offshore (lepas pantai), (bergeser pula) dari kawasan barat ke timur,” ungkap Faisal dalam perbincangan dengan Kompas.com.

Konsekuensi dari kedua perkembangan tersebut, ujar Faisal, investasi migas butuh dana lebih besar. “Butuh teknologi lebih tinggi dan ongkos lebih mahal,” ujar dia.

Itu pun, imbuh Faisal, bila eksplorasi tak mendapati sumber cadangan baru migas, semua ongkos yang telah dikeluarkan tidak mendapat penggantian dari Pemerintah Indonesia.

Di dunia usaha, tak terkecuali kontraktor, peningkatan ongkos bukanlah hal tabu. "Sepanjang feasible, selama tambahan pendapatan dari hasil produksi baru bernilai lebih besar daripada kenaikan ongkos," papar Faisal.

Menjadi runyam bagi usaha di sektor migas, lanjut Faisal, ketika cost recovery kerap dianggap sebagai tambahan biaya yang harus dibayar Pemerintah kepada kontraktor. Inilah pemikiran yang melatari munculnya tuntutan untuk terus menekan cost recovery di sektor hulu migas.


Padahal, kata Faisal, pada dasarnya kontraktor atau investor juga tidak akan menghitung cost recovery sebagai keuntungan usaha, sekalipun besar nilainya.

"Cost recovery tinggi berarti ongkos produksinya tinggi, sekalipun diganti, yang itu dipotongkan dulu dari pendapatan produksi sebelum dibagi hasil dengan Pemerintah,” papar Faisal.

Sebagai contoh, Faisal mengangkat kinerja keuangan salah satu Kontraktor KKKS dari Amerika Serikat, untuk memperlihatkan risiko yang mesti ditanggung kontraktor.

"Dari total pendapatan produksi 13 miliar dollar AS pada 2012,  ongkos produksi 2 miliar dollar AS, tapi yang dibawa pulang kontraktor ini ke negaranya hanya 1 miliar dollar AS setelah bagi hasil," kata Faisal.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com