Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufik Gumulya, CFP
CEO TGRM Perencana Keuangan

CEO TGRM Perencana Keuangan

Pembangunan Infrastruktur Tidak Harus dengan Modal Asing

Kompas.com - 26/08/2016, 12:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

Artikel ini adalah merupakan didedikasikan sebagai kontribusi pasif pertumbuhan ekonomi Bangsa Indonesia tercinta. Dirgahayu Bangsaku...
Sebuah tulisan untuk Yth. Presiden RI dan Menteri Keuangan RI.

Oleh Taufik Gumulya, CFP
CEO TGRM Perencana Keuangan

Sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi berjanji akan meningkatkan pertumbuhan Indonesia melalui pembangunan infrastruktur yang masif, bahkan lebih dari itu presiden RI menyatakan bahwa pemerintahanya akan membangun infrastruktur terbesar sepanjang sejarah.

Pembangunan infrastruktur memang merupakan faktor terkuat untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepan, pembangunan infratruktur juga merupakan bidang yang menyerap banyak tenaga kerja sehingga bermuara pada pengentasan kemiskinan.

Namun pembangunan apapun dimanapun tentu memiliki kendala utama yaitu berupa masalah pembiayaan.

Berbicara masalah pembiayaan memang ada bermacam cara bagi negara untuk mendapatkan pembiayaan pembangunan infrastruktur tersebut, pembiayaan tersebut bisa berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan bahwa pembangunan infrastruktur yang sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah alangkah bijak jika diutamakan melalui pembiayaan dari dalam negeri.

Adapun kekurangan dana jika tidak terpenuhi dari dalam negeri maka barulah pinjaman dilakukan oleh pemerintah atau swasta melalui fasilitas pinjaman luar negeri.

Permasalahannya apakah mungkin? Bagaimana pemerintah mendapatkan dana tersebut? sementara kita ketahui bahwa APBN kita tidak memiliki banyak dana untuk membagun infrastruktur tersebut. Baiklah marilah kita bahas masalah ini.

•    Libatkan Rakyat Indonesia

Dalam hal pendanaan pembangunan, Indonesia memiliki potensi internal yang luar biasa, dengan jumlah penduduk sebesar 255 juta jiwa. Berdasarkan data statistik, komposisi demografi Indonesia rerata postur usia penduduk di Indonesia berusia 28,6 tahun ini merupakan median age yang berarti separuh lebih penduduk berada dalam usia ini, sisanya terbagi dua kelompok yakni berada dibawah dan diatas usia ini.

Masih mengacu pada data yang ada bahwa jumlah angkatan kerja adalah lebih dari 120 juta jiwa (data bulan Agustus tahun 2015), ini berarti bahwa ada lebih dari 65 juta jiwa (median age) usia produktif yang mampu melakukan investasi secara jangka panjang.

Maknanya adalah potensi dana untuk pembangunan infratruktur sebagian besar bisa didapat dari kekuatan bangsa Indonesia sendiri tanpa memerlukan bantuan dana asing, tinggal bagaimana pemerintah meraciknya sehingga ketergantungan atas utang asing bisa diminimalisir.

•    Jenis Instrumen Investasi

Berbicara meracik investasi infrastruktur maka kita berbicara instrumen investasi, masing instrumen tentu memiliki tingkat resiko yang berbeda, dan belum lama ini dalam suatu kesempatan menteri keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa pasar modal harus dapat terlibat secara aktif untuk menghimpun dana pembangunan infrastruktur tersebut.

Jelas ini adalah signal yang sangat positif. Dengan kata lain bahwa menteri keuangan meminta pasar modal segera berbenah dan berkreasi dengan membuat instrumen dan peraturan yang mendorong pertumbuhan dana kelolaan yang ditujukan hanya untuk pembiayaan infrastruktur tersebut secara lebih spesifik.

Instrumen yang dimaksud haruslah berkesinambungan maka untuk itu disarankan dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu:

1.    Instrumen pembangunan: yakni instrumen yang dipasarkan sejak peletakan batu pertama hingga konstruksi selesai sesaat sebelum peresmian operasional (merupakan instrumen investasi jangka pendek);

2.    Instrumen operasional yakni instrumen yang dipasarkan sejak dimulainya operasional infrastruktur tersebut (merupakan instrumen investasi jangka panjang).

Kedua instrumen tersebut adalah saling terkait dan berkesinambungan sehingga bagi investor akan melihat suatu kepastian pendapatan melalui masing masing instrumen tersebut, penulis merekomendasikan untuk poin nomor 1 (satu) menggunakan instrumen

Sukuk Ritel dengan tingkat imbal hasil yang menarik, sedangkan pada poin nomor 2 (dua) dapat menggunakan instrumen saham yang memiliki kepastian pembayaran deviden serta dibagi secara tertimbang dengan frekuensi yang diperbanyak (lebih dari 1 kali dalam setahun). Dalam hal ini memang diperlukan terobosan baik secara aspek legal maupun operasional.

Selanjutnya mengapa instrumen investasi mengarah ke ritel? Ini semata karena faktor pemerataan kesejahteraan saja dengan demikian cakupan investor menjadi lebih banyak.

Memang saat ini sudah ada instrumen Efek Beragun Aset–Surat Partisipasi (EBA-SP) namun implementasinya juga masih terbatas pada korporasi. Selain itu pemerintah juga sedang menggodok instrumen Efek Beragun Aset Infrastruktur yang tentunya masih berbasis investor korporasi.

Dalam hal investasi ritel maka diusulkan untuk minimum pembelian pada angka yang terjangkau oleh sebagian besar rakyat yakni Rp 500.000 dan maksimal pembelian sebesar Rp 5.000.000.000. Dengan demikian cakupan investor menjadi sangat luas.

•    Faktor Risiko Investasi Sukuk dan Saham
Untuk Sukuk ada beberapa risiko. Namun dalam hal instrumen Sukuk ritel untuk infrastruktur yang diterbitkan pemerintah faktor resiko dapat diminimalisir, antara lain:

Risiko Gagal Bayar dinilai sangat minimal karena dijamin oleh pemerintah Indonesia serta adanya payung undang undang.

Risiko Likuiditas yaitu risiko terjadinya kesulitan dalam menjual Sukuk Ritel sebelum jatuh tempo, dapat teratasi dengan adanya komitmen Agen Penjual Sukuk Ritel tempat membeli pertama kali.

Agen Penjual dapat bertindak sebagai standby buyer dan siap membeli Sukuk Ritel dari investor. Diusulkan apabila membutuhkan dana namun tidak ingin menjual kepemilikan Sukuk Ritel, dapat dijaminkan kepada Agen Penjual (hal ini sudah terjadi untuk Sukuk yang ada).

Selanjutnya, masih ada Risiko Pasar, ini merupakan salah satu resiko yang mungkin terjadi, jika investor ingin menjual sebelum jatuh tempo maka bisa terjadi ‘capital loss’ atau harga jual lebih rendah dari harga beli namun investor dapat menunggu hingga harga jual lebih baik dari harga beli atau memegang Sukuk tersebut hingga harga membaik atau hingga jatuh tempo.

Sedangkan mengenai risiko saham adalah potensi ‘capital loss’, namun dengan memegang saham secara jangka panjang potensi risiko tersebut dapat diminimalisir.

Apalagi saham yang dijual merupakan saham infrastruktur yang memiliki fundamental yang bagus sehingga sangat berpotensi menghasilkan uang secara jangka panjang karena proyek ini harus menguntungkan baik secara bisnis maupun ekonomi. Seperti proyek jalan tol atau perluasan bandara, misalnya.

•    Contoh Kasus (Kereta Cepat Jakarta Bandung)

Sebagai pelengkap maka penulis mengambil contoh proyek yang sedang berjalan. Dalam hal pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung sejauh 150 km biaya yang dibutuhkan adalah sekitar 5,5 miliar dollar AS, jika dikonversikan kedalam Rupiah adalah sebesar Rp 171,5 triliun (kurs 1 dollar AS setara Rp 13.000). Berikut adalah komposisi dana saat ini:

1.    Sebanyak 75 persen (Rp 53.625.000.000.000) dana diperoleh dari China Development Bank/CDB, rincian:
a.    63 persen (Rp 33.783.750.000.000) dalam mata uang USD, bunga 2,0 persen per tahun, tenor 40 tahun, grace periode 10 thn.
b.    37 persen (Rp 19.841.250.000.000) dalam mata uang RMN, bunga 3,46 persen per tahun, tenor 50 tahun, grace periode 10 tahun

2.    Porsi dana 25 persen (Rp 17.875.000.000.000) didapat Konsorsium BUMN dengan China Railway, rincian:
a.    15 persen (Rp 10.725.000.000.000) disiapkan oleh Konsorsium BUMN;
b.    10 persen (Rp 7.150.000.000.000) disiapkan oleh China Railway.

Jika pembangunan kereta tersebut melibatkan partisipasi aktif dari rakyat Indonesia maka komposisi adalah:

3.    Nilai proyek Rp 71.500.000.000.000 dibagi dengan jumlah investor (tenaga kerja usia produktif) sebanyak 65.000.000 jiwa, maka setiap investor akan menyetor sebesar Rp 1.100.000 (satu juta seratus ribu rupiah), sebuah angka yang sangat masuk akal bagi sebagian besar angkatan kerja di Indonesia.

Keuntungan lain dengan melibatkan partisipasi rakyat Indonesia adalah:
a.    Efisiensi biaya upah tenaga kerja yang tentunya lebih murah jika dibanding dengan upah tenaga kerja impor;
b.    Menghemat biaya pembayaran bunga dan pokok utang secara jangka panjang karena dalam tenor utang selama 40 tahun tentu ada risiko depresiasi Rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika (USD) maupun dengan Reminbi China (RMB);
c.    Memberi dampak langsung terhadap penyerapan tenaga kerja lokal dan berimbas pada pertumbuhan ekonomi, dan lainnya.

Demikian pembaca Kompas yang bijaksana, paparan yang disampaikan penulis hanya bersifat masukan pasif tanpa memiliki tendensi negatif apapun. Harapan untuk proyek infrastruktur yang mendatang pemerintah segera melibatkan peran rakyat Indonesia dan meminimalisir utang dari luar negeri.

Merdeka!.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com