Mengingat dalam aktivitas pemasarannya seringkali sebuah merek melampaui batas-batas negara dan tentunya juga budaya, maka masalah penamaan merek menjadi hal yang penting.
Beberapa merek dapat terus diingat karena mudah pelafalannya di seluruh dunia. Sebut saja Coca-Cola atau banyak merek Jepang seperti Toyota, Suzuki dan Yamaha.
Dalam dunia komunikasi pemasaran, sebenarnya tugas penamaan merek justru terletak pada level manajer senior ataupun Board of Directors.
Namun demikian, tak jarang tugas tersebut dibantu oleh agency melalui skill utak-atik kata seorang copywriter. Kemampuan copywriter menjadi kunci nama merek dapat mudah diucapkan dan mudah diingat.
Dari awareness menjadi Top of Mind
Kesadaran akan nama merek (brand name awareness) sering dianggap sebagai “gerbang” pertama bagaimana konsumen belajar tentang asosiasi merek, yang kemudian akan membentuk sebuah gambaran/citra sebuah merek (brand image).
Tujuan akhir adalah bagaimana sebuah merek secara tunggal dapat diasosiasikan dengan sebuah kategori produk, Top of Mind.
Dalam proses penamaan merek diperlukan empat syarat. Shimp (2003) menyebutkan syarat tersebut meliputi:
1. Sebuah merek harus dapat dibedakan dari penawaran para kompetitor
Saat konsumen membaca sebuah merek, maka merek tersebut harus mempunyai perbedaan yang jelas dari para kompetitor dalam kategori produk yang sama.
Di sinilah kekuatan positioning sebuah merek dapat tercermin dari namanya. Penamaan merek yang mirip-mirip dengan kompetitor dan berharap mendapat ketenaran darinya merupakan usaha bunuh diri yang sangat harus dihindari.
1. Merek harus dapat membuat konsumen paham akan asosiasi merek tersebut
Tidak bisa tidak, sebuah nama merek haruslah dapat diasosiasikan dengan benefit dari produk tersebut. Misalkan ketika nama merek Frestea disebutkan maka nama tersebut langsung merepresentasikan kondisi teh yang segar.
Nama merek dapat mencerminkan benefit, merupakan gabungan kata, atau diarahkan pada citra tertentu yang diinginkan.
3. Merek harus sesuai dengan desain dan kemasani produk
Sebuah merek yang ingin dicitrakan sebagai merek yang modern harus mempunyai nama yang terdengar modern dan nantinya cocok untuk dipadukan dengan desain dan kemasan produk yang terlihat modern.
Begitu juga misalkan dengan Coca-Cola yang mempertahankan logo klasiknya, karena memang citra orisinil dari cola yang ingin ditampilkan.
4. Mudah diingat dan diucapkan
Seperti saya sebutkan sebelumnya, seringkali nama merek melintasi budaya dan juga bahasa sehingga perlu diperhatikan kemudahan pelafalannya.
Pemahaman komunikasi antarbudaya diperlukan dalam hal ini untuk mengetahui target konsumen yang akan dituju.
Seringkali beberapa merek membuat singkatan tertentu untuk lebih mudah diingat dan diucapkan seperti Kentucky Fried Chicken menjadi KFC, Bayerische Motoren Werke AG menjadi BMW atau Motorola yang menamakan ponselnya menjadi RAZR dan bukan Razor.