Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biaya Interkoneksi Baru Ditunda, Saham TLKM Masih Menarik Dibanding Operator Lain

Kompas.com - 02/09/2016, 12:20 WIB
Aprillia Ika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pemerintah menurunkan biaya interkoneksi dipastikan ditunda, walau sejumlah operator tetap menggelar tarif interkoneksi baru. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan, tarif interkoneksi tetap menggunakan aturan lama, yakni Rp 250 per menit.

Analis melihat hal tersebut menjadi peluang bagi penguatan saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM). Sebab selama ini, BUMN operator ini merasa dirugikan dengan skema tarif baru yang sedianya berlaku 1 September 2016 tersebut.

Hal tersebut dipaparkan oleh Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee. Dia menilai, batalnya penurunan tarif interkoneksi menguntungkan emiten yang memiliki basis pelanggan lebih besar, yaitu TLKM. Sementara emiten yang basis penggunanya kecil akan dirugikan.

Untuk itu, Hans merekomendasikan investor untuk mengkoleksi sahamTLKM. "Sebaiknya 'buy' saham TLKM, dibandingkan emiten lain dengan target Rp 4.450 per saham," kata dia, seperti dikutip dari KONTAN, Jumat (2/9/2016).

Pada jeda siang perdagangan saham di BEI, Jumat, saham TLKM terkerek naik 20 poin atau naik 0,48 persen ke level 4.180. Dari data Bloomberg, return saham TLKM selama satu tahun sudah mencapai kenaikan 54,76 persen.

Hitung Ulang Biaya Interkoneksi

Pengamat Telekomunikasi Mochamad James Falahudin mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menghitung ulang biaya interkoneksi yang akan menjadi referensi bagi operator dalam bernegosiasi karena jika salah bisa menimbulkan persaingan tak sehat di industri telekomunikasi.

Menurut dia, interkoneksi secara harafiah merupakan keterhubungan antarjaringan telekomunikasi secara fisik. Logikanya tak ada pihak yang merasa dirugikan ketika terjadi keterhubungan.

"Tetapi, kalau salah memberikan angka referensi yang terjadi bukan interkoneksi, tetapi numpang koneksi alias satu merasa untung, satu buntung,” kata dia.

Dia menambahkan, potret persaingan di industri telekomunikasi sekarang adalah akibat dari perang harga yang dimulai 7 tahun-8 tahun lalu untuk rebutan akuisisi pelanggan.

Dulu, operator membanting harga layanan dengan harapan bisa menggaet cukup banyak pelanggan yang dalam jangka panjang akan mengembalikan uang yang dibakar untuk akuisisi itu.

"Sayangnya prediksi itu tidak menjadi kenyataan dan sekarang investornya mulai lebih pelit untuk mengucurkan uang. Sekarang muncul "kreativitas" untuk tetap bisa ekspansi dan survive dengan memanfaatkan celah regulasi, seolah-olah menumpang koneksi," katanya.

Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala juga mengingatkan pemerintah untuk tidak memaksakan penurunan biaya interkoneksi yang terlalu besar. Sebab, akan terjadi nanti fenomena operator enggan membangun jaringan dan memilih menumpang di milik pemain lain.

"Cost recovery operator dominan tidak akan mencapai titik impas. Soalnya mereka menderita kerugian karena dibayar dibawah biaya produksi. Ini jangka panjangnya yang dirugikan pelanggan juga,” katanya.

Penundaan

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com