Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Jokowi, Sri Mulyani, dan Patung Perunggu

Kompas.com - 08/09/2016, 07:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Apalagi, jika pemerintah mengandalkan utang untuk membangun infrastruktur. Itu sama saja membebani masa depan anak-cucu kita.

Selain itu, penerimaan negara agak seret dalam dua tahun terakhir. Ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi global yang melemah yang kemudian berimbas pada perekonomian domestik.

Harga komoditas dan perdagangan dunia anjlok, menyebabkan kinerja ekspor Indonesia jatuh ke titik nadir. Begitu pula investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).

Di dalam negeri, lesunya perekonomian ditandai dengan melambatnya penyaluran kredit perbankan, yang per Juni 2016, hanya tumbuh 9 persen setahun. Padahal normalnya, pertumbuhan kredit mencapai 20 – 25 persen per tahun.

Daya beli masyarakat juga sangat lemah terindikasi dari inflasi inti yang terus menurun, per Agustus 2016 hanya 3,32 persen, terendah dalam tujuh tahun terakhir.

Lesunya perekonomian tentu berdampak pada kinerja perusahaan di berbagai sektor. Pendapatan perusahaan yang menurun akhirnya memengaruhi pajak yang mereka bayar.

Buktinya, realisasi pendapatan negara pada tahun 2015 hanya sebesar Rp 1.504,5 triliun. Nilai tersebut turun dibandingkan realisasi pendapatan negara tahun 2014 yang sebesar Rp 1.550,1.

Pada tahun-tahun sebelumnya, tidak pernah pendapatan negara menurun, kecuali tahun 2009 saat dunia dilanda krisis finansial.

Adapun realisasi penerimaan pajak pada 2015 sebesar Rp 1.240,4 triliun, tumbuh 8,22 persen dibandingkan realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1.146,84. Pertumbuhan penerimaan pajak tersebut tergolong melambat karena biasanya pertumbuhan penerimaan pajak berkisar 12 – 15 persen, bahkan bisa mencapai 30 persen saat periode pertama Sri Mulyani menjadi menkeu.

Namun, penyebab utama turunnya pendapatan negara adalah anjloknya penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Pada tahun 2015, PNBP hanya Rp 252,4 triliun, turun 37 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 398,54 triliun. Kejatuhan harga minyak dan komoditas SDA lainnya membuat PNBP turun drastis.

Kondisi ekonomi tahun ini dan tahun lalu tidak jauh berbeda, bahkan bisa lebih buruk.

Indikasinya, realisasi pendapatan negara per semester I 2016 sebesar Rp 634,7 triliun, turun dibandingkan semester I 2015 yang sebesar Rp 697,4 triliun.

Penerimaan pajak juga turun dari Rp 555,2 triliun pada semester I 2015 menjadi Rp 522 triliun pada semester I tahun 2016.

Jika kondisinya terus seperti hingga akhir tahun, maka untuk pertama kalinya dalam 7 tahun terakhir, pertumbuhan pajak akan negatif.

Pemerintah sendiri menargetkan penerimaan pajak tahun 2016 sebesar Rp 1.320 triliun, atau terjadi shortfall  Rp 219 triliun dari target pajak dalam APBN-P 2016 sebesar Rp 1.539,16 triliun.

Pemerintah memasang target ini karena masih optimis kebijakan amnesti pajak bisa menyumbang pendapatan pajak sekitar Rp 80 – 100 triliun.

Alasan lainnya mengapa kantong pemerintah selalu cekak adalah belanja yang digenjot sejak awal tahun. Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya saat belanja pemerintah pusat dan daerah baru digenjot pada semester II.

Strategi yang bagus ini bisa diimplementasikan karena perencanaan dan lelang proyek dilakukan sedini mungkin.

Pemangkasan anggaran

Sri Mulyani mungkin saja sedikit kaget dengan kondisi keuangan negara yang selalu cekak itu, yang membuat pemerintah menggantungkan anggaran pada utang.

Namun, yang paling membuatnya jengkel tentulah perencanaan anggaran yang tidak realistis dan tidak kredibel.

Bayangkan saja, shortfall pajak tahun 2016 diperkirakan mencapai Rp 219 triliun. Ini berarti penerimaan pajak hanya 86 persen dari target yang dicanangkan dalam APBN-P 2016.

Itu pun masih mengasumsikan kebijakan tax amnesty akan sukses sehingga bisa menyumbang penerimaan pajak hingga Rp 80 triliun.

Perencanaan anggaran yang amburadul model begini jelas tidak ada dalam kamus Sri Mulyani yang telah membuktikan diri sukses mengelola anggaran pada periode pertamanya sebagai menkeu.

Pada tahun 2006 misalnya, yang merupakan tahun penuh pertama Sri Mulyani menjabat menkeu, realisasi penerimaan pajak mencapai 96,3 persen dari target dalam APBN-P 2006.

Pada 2007, realisasinya mencapai 99,8 persen. Bahkan pada 2008, realisasi penerimaan pajak mencapai 108 persen, yang berarti realisasi lebih tinggi dari targetnya.

Perencanaan yang matang tidak hanya disusun untuk pos penerimaan negara tetapi juga belanjanya.

Dalam kurun 2006 – 2008, realisasi belanja pemerintah berturut-turut 95,4 persen, 100,7 persen, dan 99,6 persen.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com