Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Jokowi, Sri Mulyani, dan Patung Perunggu

Kompas.com - 08/09/2016, 07:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Dalam kurun waktu itu pula, defisit anggaran selalu dalam koridor aman dan penambahan utang hanya dilakukan seperlunya.

Karena itu, tidak heran jika akhirnya Sri Mulyani memangkas belanja negara 2016 sebesar Rp 137,61 triliun.

Pemangkasan dilakukan terhadap anggaran pemerintah pusat sebesar Rp 64,71 triliun dan anggaran transfer daerah senilai Rp 72,9 triliun.

“Ini dilakukan agar APBN menjadi lebih kredibel,” begitu selalu dikatakan Ani, sapaan Sri Mulyani saat ditanya soal pemotongan anggaran.

Demi kredibilitas APBN, Sri Mulyani dinilai tak akan segan-segan untuk kembali memangkas anggaran jika shortfall pajak lebih besar dari Rp 219 triliun dan penerimaan dana tebusan amnesti pajak di bawah Rp 80 triliun.

Utang menumpuk

Sri Mulyani diyakini akan menjaga defisit tetap di bawah 2,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga tak perlu banyak berutang.

Apalagi, dalam dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi, utang sudah menumpuk untuk membiayai proyek infrastruktur.

Pada tahun 2015, utang baru yang ditarik pemerintah mencapai Rp 556,53 triliun. Padahal realisasi defisit anggaran pada tahun itu hanya Rp 318,5 triliun.

Artinya, ada uang utang sebesar Rp 238 triliun yang dipakai pemerintah sebagai cadangan sekaligus penambal defisit anggaran tahun 2016.

Penarikan utang yang sangat besar pada tahun 2015 menjadikan Presiden Jokowi sebagai presiden Indonesia dengan utang terbesar pada tahun penuh pertama memerintah.

Per juni 2016, posisi utang pemerintah pusat mencapai Rp 3.362,74, atau bertambah Rp 754 triliun dibandingkan akhir tahun 2014, yang merupakan tahun terakhir pemerintahan Presiden SBY.

Tax amnesty

Turunnya penerimaan pajak, lesunya perekonomian, namun belanja infrastruktur tetap dipaksa ambisius tentu akan membuat siapa pun menteri keuangan akan pusing tujuh keliling.

Apalagi defisit anggaran harus terjaga tidak boleh lebih dari 3 persen PDB sehingga tak boleh menarik utang terlampau banyak.

Kondisi tersebut bisa menjadi gambaran yang jelas untuk menerangkan mengapa pemerintah belakangan tampak kalap mengumpulkan pundi-pundi dari kebijakan tax amnesty.

Saking kalapnya, pemerintah lupa bahwa prioritas utama sasaran tax amnesty adalah konglomerat dan WNI super kaya yang menyembunyikan dananya di luar negeri.

Pemerintah pernah mengatakan, ada sekitar 6.519 WNI yang menyimpan kekayaannya di luar negeri senilai total Rp 4.000 triliun. Dari situ, potensi dana tebusan bisa mencapai Rp 165 triliun.

Tapi apa mau dikata, hingga 7 September 2016, uang tebusan yang masuk baru sekitar Rp 5,54 triliun atau 3,4 persen dari target sebesar Rp 165 triliun.

Uang tebusan itu berasal dari total kekayaan yang dideklarasi maupun direpatriasi sebesar Rp 258 triliun.

Karena pemasukan pajak dari amnesti pajak masih seret, Ditjen pajak akhirnya juga menyasar rakyat biasa, yang hidupnya juga sedang susah akibat perekonomian yang lesu saat ini.

Rakyat biasa pasti juga punya kesalahan soal kepatuhan membayar pajak, tetapi mereka tidak punya niat mengemplang. Jadi rakyat kebanyakan tidak butuh pengampunan dari pemerintah.

Yang butuh memohon ampun adalah para pengemplang pajak yang memang sengaja tidak membayar pajak karenanya menyembunyikan hartanya di luar negeri biar tidak terpantau petugas pajak.

Tujuan utama kebijakan tax amnesty adalah untuk memperbaiki basis data perpajakan dan mengembalikan likuiditas ke Indonesia, bukan mengejar dana tebusan untuk menambal defisit akibat belanja yang terlampau ambisius.

Pemerintah seharusnya tidak mengandalkan dana tebusan tax amnesty untuk menambal defisit APBN. Jika memang penerimaan pajak reguler tak mencukupi, ya pangkas saja belanjanya.

Presiden Jokowi seharusnya mendengarkan patung perunggu di Lapangan Banteng itu, yang selalu mengatakan, “Uang sudah habis...!”

 

Kompas TV Pencapaian "Tax Amnesty" Masih Sangat Rendah
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com