Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dikunjungi Banyak Wisatawan, Warga Berau Manfaatkan Sampah Kerang untuk Dijadikan Kerajinan

Kompas.com - 15/09/2016, 23:05 WIB
Dani Julius Zebua

Penulis

TANJUNG REDEB, KOMPAS.com – Menjahit dan membordir sebelumnya menjadi mata pencaharian Wulan Noviasari, 30 tahun, warga Kecamatan Biduk-Biduk Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Namun semenjak menyadari banyak limbah kerang dan siput, Novi mulai berpikir bisa mendatangkan keuntungan dari sesuatu yang selama ini dianggap sebagai barang berharga tersebut.

“Tak ada yang menjual pernak-pernik di Biduk-biduk. Padahal wisatawannya sudah semakin banyak,” kata Novi ketika ditemui di pembukaan Berau Expo 2016, Kamis (15/9/2016).

Biduk-biduk merupakan wilayah tujuan wisata yang merupakan gabungan dari keindahan pantai pasir putih, dua air terjun, gua, dan air danau dua rasa sebening kaca yang dikenal sebagai Labuan Cermin.

Wilayah ini naik daun pada 2014, seiring dengan kampanye viral media sosial. Namun potensi tersebut benar-benar dikelola di 2015 dan berhasil mendatangkan lebih dari 15.000 wisatawan di 2015.

Jumlah wisatawan diyakini semakin besar di tahun 2016 ini dan tahun berikutnya. Akan tetapi, sambutan masyarakat setempat masih terbilang minim. Novi pun berniat mendapat manfaat dari kehadiran wisatawan itu untuk penghidupan dirinya sekaligus menjadi pioner warga kreatif di Biduk-Biduk.

Limbah kulit kerang, cangkang siput, kayu limbah, dan batok kelapa yang bertebaran di Biduk-biduk menjadi bahan dasarnya. Novi pun mengubah semua limbah itu menjadi pernak-pernik unik yang bakal menarik untuk wisatawan.

“Sampai belajar ke Bali sejak awal Mei 2016 lalu. Mulai memotong sampai press kulit kerang ke kayu. Banyak lagi,” kata Novi.

Tadinya limbah, kini menjadi barang bernilai tinggi. Sebutlah sebuah kalung perpaduan batok kelapa dengan kulit kerang. Belum lagi cangkang siput yang dibelah dan mempertontonkan tekstur rumit di bagian dalamnya.

“Ini hanya untuk pameran saja, belum dijual. Tapi, kalau di Jawa, kalung begini bisa Rp 250.000 hingga Rp 300.000. Tergantung tingkat kesulitan,” kata Novi.

Di tempat sama, gadis Dayak Kenyah bernama Olvi Rinate Mawun mengungkap hal mirip Novi. Olvi seorang petani pisang di Berau. Ia hanya mengambil buahnya untuk dikonsumsi ataulah dijual. Pelepah pisang, batang pisang, dan daun yang kering, dibuang.

Belum lama, Olvi menemukan nilai lain dari seluruh bagian pisang itu. Bahkan pelepahnya saja ternyata punya nilai sangat mahal setelah diolah.

“Tudung lampu dari pelepah pisang dikeringkan. Harganya bisa Rp 400.000 satu gini. Pembuatannya sulit dan membutuhkan waktu lama, bisa 2 minggu hingga selesai,” kata Olvi.

Novi dan Olvi dua dari belasan warga Berau yang ikut pelatihan memanfaatkan potensi alam sebagai bahan baku benda dan pernak-pernik kreatif yang nantinya bakal laku dijual pada wisatawan yang berkunjung Berau.

Mereka mengawali lewat seleksi ketat. Tak main-main yang dipelajari. Mereka belajar dengan para desainer kreatif dari Bali Designer Industry Center di Bali sejak Mei 2016 lalu.

Olvi mengungkapkan, yang tadinya bertani kini punya kemampuan di bidang serat alam. Tudung lampu dari pelepah pisah salah satu hasil dari keahlian barunya itu. Belum lagi memanfaatkan serat bambu, serat kayu, hingga serat rotan.

Bupati Berau, Muharram, mengatakan pemerintah berniat menggenjot terus sektor pariwisata ini. Tidak hanya giat mempromosikan Berau ke berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga internasional.

Untuk itu, Pemkab Berau bekerja sama Dekranas Pusat serta menggandeng sejumlah perusahaan di Berau, untuk mewujudkan niat ini. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com