Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/09/2016, 12:47 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.com
– Harga gas alam yang dijual di Medan, Sumatera Utara, mencuat di atas 10 dollar AS per MMBTU, setidaknya terpantau selama dua tahun terakhir.

Padahal, di Pulau Jawa—sebagai pembanding—harganya di kisaran 8 dollar AS per MMBTU. Apa dan di mana persoalannya?

"Salah satu akar masalah utama adalah bisnis gas dijadikan bancakan oleh para pemburu rente," ujar ekonom Faisal Basri, Jumat (2/9/2016).

Menurut Faisal, harga gas alam mahal sebenarnya tidak hanya dialami di Sumatera Utara. Dia mengaku punya catatan harga yang didapat industri pengguna gas alam di sejumlah wilayah di Indonesia.

Meski sudah ada BUMN yang khusus menangani penjualan gas alam, lanjut Faisal, pada praktiknya ada sekitar 50 trader dalam rantai penjualan gas di dalam negeri.

"Pada umumnya perusahaan dagang itu kebanyakan sekadar calo," ujar Faisal.

Sudah begitu, lanjut Faisal, hampir semua trader itu tak punya infrastruktur untuk penyaluran. Ujung-ujungnya, perusahaan-perusahaan itu menumpang saja ke jaringan milik BUMN.

(Baca juga: Holding Energi Hanya Akan Untungkan Trader Gas Tak Bermodal).

"Mereka hanya membayar fee pipa jaringan, tapi mengambil rente jauh lebih besar daripada yang didapat bahkan oleh mereka yang ada di sektor hulu—produsen yang lebih banyak menghadapi risiko dalam ekplorasi dan eksploitasi," kata Faisal.

Sebelumnya, Faisal pun mengkritisi rencana terbaru yang dilansir Pemerintah mengenai Holding BUMN Gas. Dalam skema itu, BUMN yang khusus menangani gas akan dilebur ke anak perusahaan dari BUMN yang selama ini lebih lekat mengelola minyak.

(Baca juga: Faisal Basri: Tak Perlu "Holding" Migas, Cukup PGN Ambil Alih Pertagas)

"Perusahaan yang sehat dan terbuka, malah mau dimasukkan ke anak perusahaan dari induknya yang bukan spesialis gas. Bagaimana logikanya?" ujar Faisal.

KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES Mesin produksi sepanjang 100 meter di PT Jui Shin Indonesia yang menggunakan gas alam di Medan, Sumatera Utara. Gambar diambil pada Kamis (25/8/2016)

Faisal pun menyodorkan cara sederhana untuk menguji kesehatan perusahaan dimaksud.

"Cek saja izin tempat-tempat penjualan produknya, kalau mau investigasi," ujarnya.

Satu lagi, lanjut Faisal, rencana terbaru soal Holding BUMN yang diketok palu pada pertengahan 2016 itu justru seolah membalik begitu saja Roadmap Sektor Energi Kementerian BUMN.

Sebelumnya, ujar Faisal, Presiden Joko Widodo pun sudah menginstruksikan anak usaha BUMN non-gas yang sekarang mengelola gas akan masuk ke BUMN yang memang sejak lahir mengurusi gas.

(Baca juga: Ekonom Sarankan Rencana Akuisisi PGN oleh Pertamina Ditinjau Ulang)

Semula, tutur Faisal, dalam roadmap ditegaskan ada tiga BUMN yang spesifik menangani energi. Ketiganya adalah PT Perusahaan Gas Negara Tbk untuk gas, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk listrik, dan PT Pertamina untuk minyak.

"Setidaknya masih tercantum sampai awal November 2015," ucap Faisal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com