Karenanya, Dimas berkeberatan bila Antam dituding ada di balik wacana relaksasi ekspor mineral ini.
“Terlebih lagi, pada semester I/2016 kami sudah kembali membukukan kinerja keuangan positif Rp 11 miliar. Itu sudah net profit, dari gross profit Rp 120 miliar” imbuh Dimas.
Menurut Dimas, perusahaannya mendukung bila wacana relaksasi tersebut terlaksana. Akan tetapi, kata dia, Antam berpendapat perlu pula ada pembatasan yang tegas di dalam pelaksanaannya.
"(Pembatasan) agar iklim investasi tetap terjaga dan harga nikel pun tak lalu turun," ujar Dimas.
(Baca juga: Antam Tegaskan Tidak Mendorong Kebijakan Relaksasi Ekspor Mineral)
Rencana lanjutan Antam untuk menambah smelter, lanjut Dimas, juga masih on the track. Khusus untuk nikel, saat ini Antam telah memiliki smelter FeNi I, II, III, dan IV di Pomalaa, Sulawesi Tenggara.
Smelter FeNi I pada 2013 sudah berhenti operasi terkait dengan Proyek Perluasan Pabrik Feronikel di Pomalaa (P3FP).
Dimas juga berkeberatan bila mencuat rumor relaksasi terkait dengan kerugian joint venture Antam dan perusahaan asal Jepang.
“Namanya perusahaan baru, butuh waktu untuk penyesuaian, penyetelan, dan investasi lanjutan. Tidak bisa dikatakan sebagai kerugian, apalagi sampai jadi ‘motif’ Antam mendorong relaksasi segala,” tepis Dimas.
Ceruk besar pasar global
Kembali ke bijih besi yang terbuka lagi peluangnya untuk diekspor, Direktur Marketing Antam Hari Widjajanto menambahkan, pasar internasional yang bisa dimasuki cukup besar.
“Selama ada kebijakan pelarangan ekspor, pasar itu dimasuki komoditas dari Filipina,” ungkap Hari pada kesempatan yang sama.
Padahal, ujar Hari, kadar bijih nikel dari Filipina paling tinggi hanya 1,6 persen. Menurut Hari, pengguna dari Jepang dan China pun sebenarnya agak kesulitan dengan kadar rendah tersebut, tetapi mereka punya teknologi yang cukup untuk mengolah bijih nikel tersebut.
Itu pun, lanjut Hari, bijih nikel yang belum bisa diolah di dalam negeri masih punya kualitas lebih bagus dari komoditas serupa dari Filipina.
“Inilah potensi pasar yang bisa kita masuki lagi,” kata Hari.
Sebagai gambaran, sebut Hari, total volume ekspor Filipina ke China dan Jepang ada di kisaran 30 juta ton per tahun. Nah, kalau ada relaksasi ekspor bijih nikel dari Indonesia, dia berkeyakinan ceruk pasar 20 juta ton bisa diambil.
Hari optimistis dengan ceruk pasar tersebut juga karena berpatokan pada data soal harga pasaran bijih nikel berkadar nikel kurang dari 1,8 persen.
“Harga dari Filipina sekitar 30 dollar AS per ton, sementara dari kita saat ini masih di kisaran 1 dollar AS per ton, untuk kadar nikel 1,6 persen. Kalau kita masuk, kita men-substitusi yang selama ini dipasok Filipina,” papar Hari.