KOMPAS.com – Hilirisasi belum lagi efektif berlaku penuh selama tiga tahun, sejak tenggat waktu yang diberikan Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) usai pada 12 Januari 2014.
Mendadak, berembus wacana Pemerintah melakukan relaksasi ekspor mineral.
(Baca juga: Luhut usul relaksasi ekspor mineral di UU Minerba)
Dari semua minerba, keriuhan atas wacana relaksasi datang dari komoditas bijih nikel (nickel ore), menyikapi wacana tersebut. Beragam kekhawatiran mencuat, terutama dari mereka yang mengaku menyuarakan industri pemurnian (smelter).
Ekspor bijih nikel, misalnya, dikhawatirkan menggerus pasokan bahan baku ke smelter dalam negeri.
(Baca juga: Perusahaan Pemurnian Tolak Relaksasi Ekspor Mineral Mentah)
Seperti apa sebenarnya wacana relaksasi ekspor mineral berepngaruh terhadap komoditas bijih nikel ini?
“Relaksasi hanya akan membuka keran ekspor untuk bijih nikel yang selama ini tak bisa diolah smelter di dalam negeri,” ujar Direktur Keuangan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, Dimas Wikan Pramudhito, Kamis (8/9/2016).
Dimas menyebutkan, smelter di dalam negeri baru bisa mengolah bijih nikel dengan kadar nikel di atas 1,8 persen. Teknologi masih menjadi tantangan, karena nilai ekonomisnya belum sepadan bila dipaksakan mengolah bijih nikel dengan kadar nikel di bawah 1,8 persen.
“Nah, bijih nikel yang di bawah kadar 1,8 persen itu, selama ini hanya ditumpuk atau malah dibuang, sepanjang pemberlakuan larangan ekspor mineral mentah,” tegas Dimas.
Sebagai ilustrasi, Dimas menggambarkan pula posisi bijih nikel di dalam tanah. Untuk medapatkan kadar di atas 1,8 persen tersebut, perusahaan tambang tetap harus mengeruk bebatuan dengan kadar nikel kurang dari 1,8 persen.
Sebelum ada kebijakan pelarangan ekspor hasil tambang mentah, lanjut Dimas, ore dengan kadar nikel kurang dari 1,3 persen juga jadi “limbah” yang dibuang atau ditumpuk saja.
Namun, waktu itu kadar nikel 1 persen sampai 1,8 persen masih bisa diekspor dengan sistem “blending” kualitas bijih nikel. Adapun bijih nikel dengan kadar lebih dari 1,8 persen menjadi pasokan nasional dan ekspor.
Sejarah panjang hilirisasi
Cerita hilirisasi minerba merupakan babak yang cukup “mengharu-biru” sektor pertambangan nasional. Mulai bergaung sejak penerbitan UU 4 Tahun 2009, tetapi efektif berlaku penuh pada awal 2014.
Jeda waktu selama lebih dari empat tahun dimaksudkan sebagai kesempatan bagi perusahaan tambang nasional menyiapkan smelter. Apa mau dikata, tak semua perusahaan tambang siap dengan smelter-nya meski sudah diberi tenggat waktu itu.
“Kami sudah punya smelter sejak 1974, jauh sebelum ada UU soal hilirisasi,” kata Dimas.
Karenanya, Dimas berkeberatan bila Antam dituding ada di balik wacana relaksasi ekspor mineral ini.
“Terlebih lagi, pada semester I/2016 kami sudah kembali membukukan kinerja keuangan positif Rp 11 miliar. Itu sudah net profit, dari gross profit Rp 120 miliar” imbuh Dimas.
Menurut Dimas, perusahaannya mendukung bila wacana relaksasi tersebut terlaksana. Akan tetapi, kata dia, Antam berpendapat perlu pula ada pembatasan yang tegas di dalam pelaksanaannya.
"(Pembatasan) agar iklim investasi tetap terjaga dan harga nikel pun tak lalu turun," ujar Dimas.
(Baca juga: Antam Tegaskan Tidak Mendorong Kebijakan Relaksasi Ekspor Mineral)
Rencana lanjutan Antam untuk menambah smelter, lanjut Dimas, juga masih on the track. Khusus untuk nikel, saat ini Antam telah memiliki smelter FeNi I, II, III, dan IV di Pomalaa, Sulawesi Tenggara.
Smelter FeNi I pada 2013 sudah berhenti operasi terkait dengan Proyek Perluasan Pabrik Feronikel di Pomalaa (P3FP).
Dimas juga berkeberatan bila mencuat rumor relaksasi terkait dengan kerugian joint venture Antam dan perusahaan asal Jepang.
“Namanya perusahaan baru, butuh waktu untuk penyesuaian, penyetelan, dan investasi lanjutan. Tidak bisa dikatakan sebagai kerugian, apalagi sampai jadi ‘motif’ Antam mendorong relaksasi segala,” tepis Dimas.
Ceruk besar pasar global
Kembali ke bijih besi yang terbuka lagi peluangnya untuk diekspor, Direktur Marketing Antam Hari Widjajanto menambahkan, pasar internasional yang bisa dimasuki cukup besar.
Padahal, ujar Hari, kadar bijih nikel dari Filipina paling tinggi hanya 1,6 persen. Menurut Hari, pengguna dari Jepang dan China pun sebenarnya agak kesulitan dengan kadar rendah tersebut, tetapi mereka punya teknologi yang cukup untuk mengolah bijih nikel tersebut.
Itu pun, lanjut Hari, bijih nikel yang belum bisa diolah di dalam negeri masih punya kualitas lebih bagus dari komoditas serupa dari Filipina.
“Inilah potensi pasar yang bisa kita masuki lagi,” kata Hari.
Sebagai gambaran, sebut Hari, total volume ekspor Filipina ke China dan Jepang ada di kisaran 30 juta ton per tahun. Nah, kalau ada relaksasi ekspor bijih nikel dari Indonesia, dia berkeyakinan ceruk pasar 20 juta ton bisa diambil.
Hari optimistis dengan ceruk pasar tersebut juga karena berpatokan pada data soal harga pasaran bijih nikel berkadar nikel kurang dari 1,8 persen.
“Harga dari Filipina sekitar 30 dollar AS per ton, sementara dari kita saat ini masih di kisaran 1 dollar AS per ton, untuk kadar nikel 1,6 persen. Kalau kita masuk, kita men-substitusi yang selama ini dipasok Filipina,” papar Hari.
Senada dengan Dimas, Hari pun berkeyakinan pasar dalam negeri tak akan terganggu dengan ceruk pasar internasional tersebut.
Selain soal kadar nikel dari bijih yang bisa diekspor, tegas Hari, kekhawatiran itu tidak beralasan bila menengok ketersediaan cadangan dan angka penyerapan di dalam negeri.
“Total jenderal, cadangan nikel kami lebih dari 900 juta ton, sementara penggunaan di dalam negeri di kisaran 3 juta ton per tahun, termasuk dari kami di kisaran 1,2 juta ton per tahun,” papar Hari.
Hari memperkirakan, pada 2017 penggunaan bijih nikel di dalam negeri memang akan naik. Namun, itu pun masih di kisaran 8 juta ton per tahun.
“Seiring selesainya banyak smelter baru, tak cuma punya Antam ya,” ujar Hari.
Data Antam menyebutkan, cadangan bijih nikel perusahaan ini mencapai 988,3 juta ton. Dari jumlah itu, 580,2 juta ton masuk kategori kadar nikel di atas 1,8 persen, sementara selebihnya memiliki kadar nikel di bawah 1,8 persen.
Dengan semua data itu, Hari berkeyakinan relaksasi ekspor mineral mentah khususnya untuk bijih nikel tak akan mengganggu program hilirisasi yang bergulir lewat UU Minerba. “Jalan terus,” tegas dia.
Sebagai catatan tambahan, Hari pun mengungkapkan Antam terus-menerus melakukan efisiensi. Gambaran paling jelas adalah penurunan biaya produksi, di tengah berlanjutnya tren penurunan harga nikel.
“Tidak semua perusahaan tambang bisa ekspor lagi. Ada syarat punya smelter, meski baru proses pembangunan, sampai berapa persen prosesnya,” sebut Hari tentang contoh persyaratan tersebut.
Karenanya, Hari berpendapat, beragam kekhawatiran dan rumor yang menyelimuti wacana relaksasi ekspor minerba—terlebih lagi bila dikaitkan dengan kinerja Antam—menjadi tak relevan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.