Sama dengan Tanoto Foundation yang didirikan oleh Sukanto Tanoto. Kalau Anda sempat berkunjung ke museum keluarga ini di Kota Medan, pasti Anda dapat merasakan perjuangan hidup keluarga ini meraih kehidupan yang lebih baik.
Bahkan, foto saat ia menjadi penjaga pompa bensin sambil menggendong adiknya, bisa ditemui dalam museum itu.
Ketidaklengkapan studi di masa remaja, kini dibalas Sukanto melalui Tanoto Foundation.
Menurut data yang saya baca, tahun 2016 ini saja biaya berbagi untuk pendidikan yayasan ini mencapai lebih dari Rp 80 miliar. Lebih dari 450 perpustakaan dan gedung PAUD telah dibangun, dan ribuan guru diajarkan cara memberantas buta aksara efektif.
Sukanto kini lebih tertarik berbicara tentang pendidikan kaum muda ketimbang kebun sawit atau pabrik kertasnya.
Namun, terlepas dari gempuran-gempuran image yang dituding banyak pihak kepada mereka, berapa besar budget promosi yang mereka keluarkan? Ternyata tak banyak. Mereka amat tak menaruh perhatian pada ocehan-ocehan negatif yang menyerang pribadi mereka.
Prinsip filantropi yang benar itu adalah: “Bila tangan kanan memberi, hendaknya tangan kiri tak perlu tahu.” Rata-rata filantropis yang saya temui saat membimbing kegiatan karitatif anak-anak muda mengatakan “biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.”
Sihol Aritonang, Ketua Pengurus Tanoto Foundation pernah mengatakan kepada saya dalam suatu kesempatan di USU, “Besarnya sumbangan tidak pernah kami publikasikan karena prinsip filantropi yang rendah hati yang dianut perusahaan.
Di samping itu Tanoto Foundation tidak pernah menerima dana publik untuk berbagi.”
Di berbagai kampus, selain membangun sejumlah fasilitas, banyak dosen yang disekolahkan ke luar negeri. Saya juga sering memberi kuliah umum di auditorium Tanoto di sejumlah PTN sumbangan Tanoto Foundation.
Padahal, kalau mau, uang jutaan dolar yang ia dedikasikan untuk kegiatan-kegiatan sosial itu bisa saja dipakai untuk membayar politisi, atau cyber troops (pasukan dunia maya) untuk membelanya dari serangan terhadap pribadinya.
Sama seperti Bill Gates dan filantropis-filantropis rendah hati lainnya, berbagi itu adalah sebuah calling, bukan pencitraan.
Menginspirasi Kaum Muda
Di luar dugaan, langkah filantropis itu justru menginspirasi banyak kaum muda. Melalui Young Fellow Rumah Perubahan, kami menemukan anak-anak muda yang belum mapanlah yang justru terpanggil untuk berbagi.
Berkat bantuan para filantropis, kini anak-anak muda itu turun ke tepi Kali Ciliwung, membimbing anak-anak kaum pinggiran berkegiatan ekonomi.
Alia Noor Anoviar, misalnya, mendirikan Dreamdelion untuk membentengi anak-anak itu dari rayuan puluhan ormas, yang siap menggunakan mereka sebagai demonstran lapangan.
Ini benar-benar aneh. Mereka yang namanya sering dijelek-jelekkan dan difitnah ternyata orang baik. Sebaliknya yang banyak menyerang ternyata tak pernah memberi apa-
apa, bahkan membelakangi para pejuang sosial.
Apakah Alia harus menunggu sampai mapan dulu untuk berbagi? Nyatanya tidak. Alia, sama seperti mahasiswa-mahasiswa saya lainnya, sedari muda sudah mempunyai panggilan untuk berbagi. Dan ini sehat bagi bangsa ini. Kemana kalangan kelas menengah baru kita?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.