Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Sukses "Tax Amnesty" Minim Repatriasi dan Moneter yang Moncer

Kompas.com - 30/09/2016, 07:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Tax amnesty masih menjadi “bintang” pembicaraan seputar topik perekonomian Indonesia dalam beberapa minggu ke belakang dan mungkin beberapa minggu ke depan.

Setiap hari, portal berita dan koran berlomba melaporkan perkembangan tax amnesty, mulai dari total harta terkini yang dilaporkan hingga konglomerat mana lagi yang tak malu-malu mengungkapkan pajak yang pernah dikemplangnya.

Menjelang berakhirnya periode pertama pengajuan tax amnesty dengan tarif termurah pada akhir September 2016, nilai harta yang dilaporkan terus melesat.

Hingga Jumat pagi tanggal 30 September 2016, jumlah harta yang dilaporkan mencapai Rp 3.195 triliun. Dana itu terdiri harta di dalam negeri sebesar Rp 2.177 triliun dan dana di luar negeri senilai Rp 1.019 triliun.

Dari total harta di luar negeri yang dilaporkan sebesar Rp 1.019 triliun, sebanyak Rp 131 triliun dibawa pulang atau direpatriasi ke Indonesia. Aset ini sebagian besar dalam bentuk instrumen keuangan.

Dari seluruh harta yang dilaporkan, pemerintah memperoleh uang tebusan sebesar Rp 79,7 triliun.

Menurut Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi, target deklarasi sebesar Rp 4.000 triliun niscaya tercapai mengingat masih banyak peserta tax amnesty yang sudah membayar uang tebusan namun belum dimasukkan dalam sistem teknologi informasi.

Target awal yang ditetapkan yakni deklarasi Rp 4.000 triliun, repatriasi Rp 1.000 triliun, dan uang tebusan Rp 165 triliun.

Lantas, apakah program tax amnesty sejauh ini dapat dikatakan sukses?

Iya, sukses, jika ukurannya adalah deklarasi harta di dalam negeri. Siapa sangka ternyata deklarasi harta dalam negeri sejauh ini sudah mencapai Rp 2.177 triliun.

Ternyata, banyak juga aset-aset di dalam negeri yang selama ini tidak terlacak oleh petugas pajak atau memang sengaja disembunyikan untuk dijadikan “sapi perahan”? entahlah.

Namun, apabila dilihat dari deklarasi aset di luar negeri dan repatriasinya, program tax amnesty masih jauh panggang dari api alias tak seperti yang diharapkan.

Sebab, dari target repatriasi sebesar Rp 1.000 triliun, realisasinya hingga kini baru sekitar Rp 131 triliun.

Selain itu, dana yang direpatriasi jauh lebih kecil dibandingkan harta WNI yang disimpan di luar negeri.

Berdasarkan data yang pernah diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, harta WNI yang disimpan di luar negeri mencapai 250 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.250 triliun (kurs Rp 13.000 per dollar AS), yang sebagian besar belum dilaporkan.

Dari angka itu, 200 miliar dollar AS atau Rp 2.600 triliun disimpan di Singapura.

Aset WNI di luar negeri yang sebenarnya tentu lebih besar dari data yang diungkapkan Sri Mulyani mengingat data tersebut belum memperhitungkan aset yang diinvestasikan melalui perusahaan cangkang atau special purpose vehicle (SPV).

Benarkah bank Singapura mendukung?

Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, saat menjabat Menteri Keuangan bahkan pernah mengungkapkan ada sekitar 6.519 WNI yang menyimpan kekayaannya di luar negeri senilai total Rp 4.000 triliun, yang sebagian besar belum dilaporkan.

Artinya, jika dibandingkan harta WNI di luar negeri, nilai yang dilaporkan dalam rangka tax amnesty hanya sekitar 25 persen. Sementara yang direpatriasi hanya sekitar 3,3 persen.

Pemerintah Singapura, otoritas moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS), dan bank-bank Singapura yang yang buka cabang di Indonesia seperti Bank UOB, Bank DBS, Bank OCBC telah menyatakan mendukung tax amnesty. Namun faktanya, duit yang mengalir dari Singapura ke Indonesia masih sedikit.

Kita tak paham makna “mendukung” dari mereka. Namun memang tak masuk akal apabila mereka rela membangkrutkan diri dengan mendorong para nasabah WNI mereka memindahkan dananya dari Singapura ke Indonesia.

Ya, tentu saja perekonomian Singapura akan jatuh apabila terjadi repatriasi besar-besaran. Sebab, dana WNI yang disimpan di Singapura sangat berpengaruh signifikan terhadap perekonomian negara tersebut.

Dana WP Indonesia yang disimpan di Singapura minimal sebesar Rp 2.600 triliun baik yang telah dilaporkan maupun yang belum dilaporkan.

Jumlah tersebut sekitar 50 persen dari total simpanan yang ada di perbankan Singapura yang mencapai Rp 5.300 triliun. Dapat dibayangkan bagaimana keringnya likuiditas di Singapura apabila para WNI menarik dananya ke Indonesia.

Justru yang kentara bukanlah “dukungan”, melainkan sebaliknya. Karena itu harus diakui, upaya-upaya Singapura untuk mencegah repatriasi dana-dana WNI bisa dikatakan cukup berhasil.

Meskipun telah dibantah Singapura, namun isu pemberian insentif kepada para nasabah WNI yang tidak merepatriasi dananya kemungkinan memang terjadi.

Salah satu insentifnya adalah  Singapura rela menalangi tarif tebusan sebesar dua persen asalkan WP Indonesia yang menyimpan dananya di Singapura tidak melakukan repatriasi.

Dengan demikian, dari seharusnya membayar empat persen, WP bersangkutan cukup membayar dua persen karena dua persennya lagi ditanggung Singapura.

Belakangan, upaya yang dilakukan Singapura makin merisaukan. Sebab, bank-bank Singapura melaporkan nasabahnya yang ikut tax amnesty kepada Commercial Affairs Department (CAD), yang berfungsi layaknya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Indonesia.

Alasannya, uang-uang yang ditarik dalam jumlah besar tersebut tergolong dalam transaksi keuangan mencurigakan karena polanya tidak lazim.

Ya, semua negara kini memang mempraktikkan rezim anti pencucian uang sesuai  rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) yang merupakan lembaga internasional yang didirikan untuk memberantas pencucian uang sebagai kejahatan lintas negara.

Namun, ketika bank-bank Singapura mengetahui adanya alasan yang jelas bahwa dana tersebut direpatriasi dalam rangka tax amnesty yang merupakan amanat Undang-undang, maka seharusnya transaksi tersebut tidak lagi mencurigakan.

Artinya, transaksi tersebut tidak perlu dilaporkan kepada CAD.

Pemerintah Singapura dan Kepolisian Singapura, sebagai lembaga yang menaungi CAD, memang sudah memastikan laporan-laporan tersebut tidak akan ditindaklanjuti mengingat hal itu merupakan transaksi legal dalam rangka tax amnesty.

Namun bagaimanapun, pelaporan itu tetap memiliki implikasi hukum yang memengaruhi psikologis para nasabah WNI di Singapura. Sebab, nama-nama mereka telah tercatat dalam data Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) milik CAD.

Sakina Rakhma Diah Setiawan/Kompas.com Rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta, Kamis (22/9/2016).

Rupiah menguat

Terlepas dari persoalan tax amnesty yang minim repatriasi dan fiskal yang masih banyak bolongnya, kondisi moneter saat ini justru sedang moncer-moncernya.

Tanpa terasa, seluruh indikator moneter kini menunjukkan perbaikan yang menciptakan confident.

Nilai tukar rupiah pada pekan ini menguat ke bawah Rp 13.000 per dollar AS. Berdasarkan data JISDOR, kurs rupiah pada perdagangan Kamis (29/9/2016) ditutup di level Rp 12.952 per dollar AS.

Inilah untuk pertama kalinya sejak Mei 2015, kurs rupiah kembali berada di bawah Rp 13.000 per dollar AS.

Rupiah dalam tren menguat karena dana asing yang masuk ke Indonesia semakin deras. Bank Indonesia melaporkan, selama periode Januari – Agustus 2016, aliran dana asing mencapai hingga 11,1 miliar dollar AS atau setara Rp 144 triliun.

Jumlah tersebut sudah melampaui aliran masuk modal asing untuk keseluruhan tahun 2015 yang sebesar 5,1 miliar dollar AS.

Masuknya dana asing tersebut didorong oleh meredanya sentimen kenaikan suku bunga acuan bank Sentra AS atau Fed Fund Rate dan repatriasi tax amnesty.

Selain masuk ke Surat Utang Negara (SUN), dana asing itu juga mengalir ke pasar saham. Tak heran Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) terus meningkat sejak september 2015 dan pada penutupan perdagangan Kamis (29/9/2016) bertengger di level 5.431,96.

Di sisi lain, transaksi perdagangan pada Agustus 2016 tetap mencatat surplus yakni sebesar 0,29 miliar dolar AS.

Membaiknya transaksi finansial dan transaksi perdagangan membuat Neraca Pembayaran Indonesia  (NPI) pada triwulan II 2016 bisa kembali mencatat surplus yakni sebesar 2,74 miliar dollar AS.

Cadangan devisa pun membesar menjadi 113,5 miliar dollar AS pada akhir Agustus 2016, atau setara 8,7 bulan impor atau 8,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Sumber : Bloomberg Perkembangan kurs rupiah
Hebatnya, penguatan rupiah dan membaiknya NPI terjadi saat suku bunga sedang dalam tren menurun dan inflasi juga amat rendah.

Merupakan adagium moneter bahwa penurunan suku bunga akan mendorong keluarnya dana yang selalu mencari imbal hasil menarik.

Namun, adagium itu tidak terjadi saat ini di Indonesia karena pegelolaan moneter dan inflasi oleh Bank Indonesia semakin kredibel dan dipercaya pasar.

Bank Indonesia pekan lalu menurunkan suku bunga acuan 7-day Reverse Repo Rate  sebesar 25 basis poin (Bps) menjadi 5 persen.

Inilah suku bunga acuan BI terendah sepanjang sejarah sejak bank sentral itu menggunakan suku bunga kebijakan sebagai jangkar pengelolaan moneter pada tahun 2005.

Suku bunga kebijakan di Indonesia sudah hampir mendekati negara-negara tetangga seperti Malaysia (3 persen), Filipina (3 persen), Thailand (3 persen), dan China (4,35 persen).

Namun, suku bunga kebijakan di Indonesia sudah lebih rendah dibandingkan India (6,5 persen), Brazil (14,25 persen), dan Argentina (24,9 persen).

Tren menurunnya suku bunga tak terlepas dari rendahnya inflasi Indonesia dalam dua tahun terakhir.

Inflasi tahunan (year on year/YoY) pada Agustus 2016 hanya 2,79 persen, yang merupakan inflasi tahunan terendah sejak 2009 yang sebesar 2,78 persen.

Ini berarti tingkat inflasi Indonesia tidak lagi jauh di atas negara-negara tetangga.

Ada beberapa faktor yang membuat tingkat inflasi Indonesia sangat rendah di masa Presiden Jokowi dan Gubernur BI Agus Martowardojo.

Salah satunya adalah dihapuskannya subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium.

Ada 3 komponen pembentuk inflasi di Indonesia, yakni inflasi inti, inflasi harga yang diatur pemerintah (administered price), dan inflasi harga pangan yang fluktuatif (volatile food).

Dari komponen-komponen tersebut, pemicu utama inflasi tinggi adalah BBM yang harganya diatur pemerintah.

Setiap pemerintah menaikkan harga bbm, untuk mencegah membengkaknya subsidi, inflasi akan melonjak tinggi. Sebab, kenaikan harga bbm akan memicu kenaikan seluruh harga barang dan jasa.

Sumber : paparan DGS BI Perkembangan inflasi

Sumber : BPS, paparan DGS BI

Kondisi ini membuat inflasi di Indonesia tidak mencerminkan  keadaan sesungguhnya. Apalagi, kenaikan harga BBM juga dipicu oleh pasar global, yang jelas berada di luar kendali Indonesia.

Jadi, dengan inflasi administered price yang sudah tidak berpengaruh lagi ditambah inflasi volatile food yang terjaga, bank sentral akan lebih mudah mengelola dan mengarahkan inflasi.

Suku bunga

Apabila inflasi stabil di level yang rendah, maka otomatis suku bunga deposito dan kredit di Indonesia juga akan turun.

Tidak hanya suku bunga bank, tetapi juga suku bunga atau imbal hasil berbagai istrumen di pasar uang dan pasar modal karena memang acuannya adalah inflasi dan suku bunga kebijakan.

Hingga kini, tren penurunan suku bunga deposito berlanjut. Pada Juli 2016, rata-rata tertimbang suku bunga deposito kembali turun sebesar 11 bps menjadi 7,03 persen.

Dengan demikian, secara year-to-date, suku bunga deposito telah turun sebanyak 91 bps.

Di sisi lain, suku bunga kredit juga mulai menunjukkan penurunan meskipun lebih lambat. Pada Juli 2016, rata-rata tertimbang suku bunga kredit turun 2 bps dari menjadi 12,36 persen.

Dengan demikian, secara year to date, suku bunga kredit telah turun sebanyak 47 bps.

Moncernya kondisi moneter seolah menandai datangnya rezim inflasi dan suku bunga rendah di Indonesia, yang sedari dulu sangat ditunggu-tunggu masyarakat.

Kini tinggal bagaimana memanfaatkan stabilitas moneter tersebut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.

Kompas TV Para Pengusaha Ikuti Program Tax Amnesty

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com