Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Dimas Kanjeng, Kekayaan, dan Pola Pikir "Karbitan"

Kompas.com - 07/10/2016, 08:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Di satu sisi, meraup kekayaan melalui cara instan memang menggiurkan. Namun di sisi lain, banyak yang terkorbankan.

Salah satunya adalah hilangnya nalar kritis dari seseorang. Selain itu, mereka yang telah dirasuki pola pikir instan akan selalu menyederhanakan sesuatu hingga tak lagi memiliki kemampuan dalam menghadapi berbagai masalah. Lainnya adalah kredibilitas dan integritas yang riskan tergadai.

Dalam konteks ekonomi, mereka yang melakukan akumulasi kekayaan dengan hanya menekankan pada hasil dan minus proses, sama sekali tak memberikan multiplier effect bagi perekonomian. Kalaupun ada, itupun cukup kecil.

Mereka yang Mau Berproses

Lupakan cara-cara instan. Kini coba berpaling kepada mereka yang berusaha meraih kekayaan dengan bersusah payah. Dan, Indonesia sebenarnya harus berterimakasih kepada kelompok ini.

Mereka adalah para pengusaha yang mau bersusah payah untuk membangun bisnisnya. Tak melulu berorientasi pada hasil, namun juga proses. Tak cuma bisa berdagang, menjual komoditas, apalagi mengimpor, namun mereka mengolah barang mentah menjadi produk yang memiliki nilai tambah (added value).

Jumlah mereka tak terlalu banyak, namun ikhtiar mereka menjalankan bisnis memberikan efek berganda yang cukup besar bagi perekonomian di Indonesia. 

Di satu sisi, mereka paham bagaimana "melipat" ruang dan waktu dengan memanfaatkan momentum dan menggunakan teknologi untuk mendukung produksi. Namun di sisi lain, mereka tetap setia melakoni proses.

Hal inilah yang membuat mereka benar-benar berada pada bagian atas struktur ekonomi, yakni menjadi orang yang tercatat oleh Forbes sebagai orang terkaya. Dan bukan orang kaya "karbitan".

Keberadaan mereka inilah yang membuat Indonesia sempat dijuluki sebagai "Macan Asia" karena tingginya aktivitas manufaktur di era 80an.

Sebut saja beberapa pelaku di industri ini, seperti William Soeryadjaya yang mendirikan Astra, Soedono Salim melalui Grup Salim, hingga Sukanto Tanoto Grup RGE.

William Soeryadjaya (alm) merupakan pekerja keras dan ulet menjalankan usaha. Dia memulai bisnisnya dengan mendirikan perusahaan pemasaran minuman ringan.

Karena keuletannya, bisnis yang dijalankan Om William merambah ke sektor otomotif, peralatan berat, peralatan kantor, perkayuan, dan sebagainya. Perusahaan yang didirikannya berkembang pesat, dan Astra tumbuh bagaikan pohon rindang.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Sudono Salim (alm). Dia memulai usaha sebagai pembuat kerupuk dan tahu, yang kemudian menjadi pemasok cengeh untuk perusahaan rokok di Kudus.

Seiring berjalannya waktu, usaha milik Om Liem berkembang pesat. Dia mendirikan kerajaan bisnis melalui Grup Salim, yang masuk ke berbagai sektor usaha, seperti pabrik semen, hingga otomotif. 

Karena keuletannya, bisnis yang dijalankan Om Liem berkembang hingga dia sempat tercatat sebagai orang paling kaya di Indonesia.

Adapun kisah Sukanto Tanoto juga tak kalah menarik. Setelah berhenti sekolah, dia terpaksa menjalankan usaha untuk menghidupi keluarganya.

Lambat laun, usaha yang dijalankannya berkembang. Dari sebelumnya bergerak di perdagangan umum, dia memulai berbisnis ke proyek pembangunan jaringan pipa gas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com