Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenaikan Cukai Rokok, Pemerintah Harus Bahas Dulu dengan DPR

Kompas.com - 07/10/2016, 12:15 WIB
Iwan Supriyatna

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kendati kenaikan cukai rokok yang akan diberlakukan pada 2017 telah resmi diumumkan pemerintah kepada publik, namun DPR berpendapat, pemerintah seharusnya membahasnya terlebih dulu dengan DPR.

Alasannya, menurut Wakil Ketua DPR RI, Fachri Hamzah, kenaikan cukai erat berkaitan dengan hak-hak rakyat sebagai konsumen. Tidak hanya itu, kenaikan cukai rokok harus pula mendatangkan dampak ekonomi bagi petani tembakau.

"Yang terjadi, sampai sekarang petani tembakau lokal masih harus berjuang mengatasi gempuran tembakau impor," kata Fachri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (7/10/2016)

Fachri menambahkan, kebijakan menaikkan cukai bisa diasumsikan mengambil uang dari rakyat, sehingga harus ada peraturannya.

"Pemerintah tidak bisa memutuskan sepihak, harus datang ke DPR dulu. Saya menduga, nanti akan ada masalah seusai pemotongan anggaran dan sebagainya," ujarnya.

Fachri juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang tampak masih membuka lebar impor tembakau. Padahal, kata Fachri, RUU Pertembakauan yang merupakan usulan dari semua kalangan, tujuannya adalah meminimalisasi impor tembakau.

"Kita membahas RUU Pertembakauan supaya petani tembakau kita bisa makmur. Kita ingin petani kita kaya. Bukan malah membuka pintu peningkatan impor. Itu keliru," cetusnya.

Tujuan RUU Pertembakauan, menurut anggota Dewan dari Dapil NTB ini, adalah proteksi kepada petani. "Kita hanya mau ada produksi rokok jika menggunakan bahan baku nasional yang melestarikan tradisi kretek dan rokok dalam negeri. Kita tidak mau Indonesia jadi tempat pabrik saja, tapi bahan bakunya dari luar negeri," tegasnya.

Tidak Perlu Aksesi FCTC

Anggota Komisi XI DPR RI, Misbakhun menyatakan, Indonesia saat ini memang tidak mengaksesi kerangka konsep pengendalian tembakau (FCTC), sebagaimana dituntut oleh sejumlah kalangan LSM di Indonesia.

Selain karena banyak regulasi di Indonesia yang sudah mengadopsi ihwal pengendalian tembakau sebagaimana diamanatkan FCTC kata Misbakhun, Indonesia juga memandang tidak perlu mengaksesi FCTC. Sebab, ada kekhawatiran potensi matinya kretek di Indonesia jika FCTC diaksesi.

"Alasan ini salah satunya didasarkan pada pengaturan ingredient (kandungan) rokok dan larangan bau aromatik rokok dalam FCTC (Pasal 9 dan 10 FCTC)," tuturnya.

Menurut Misbakhun, aturan ingridient tersebut dapat mengarah pada standardisasi bahan baku rokok. Ini karena, dalam pertemuan anggota atau Conference of Parties (CoP) keempat di Uruguay tahun 2010 merekomendasikan untuk mengurangi daya tarik rokok atas bahan tambahan dan aroma.

"Jika FCTC diaksesi, aturan ini berdampak pada kretek. Sebab, yang khas dalam kretek adalah bau aromatik karena kandungan rempah-rempahnya. Padahal, bukan hanya ada di Indonesia, kretek adalah unggulan Indonesia," kata Misbakhun.

Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah menetapkan kenaikan tertinggi cukai rokok 2017 sebesar 13,46 persen untuk tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah sebesar 0 persen untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan III B.

Kebijakan itu juga menyebutkan kenaikan rata-rata tertimbang sebesar 10,54 persen, dengan harga jual eceran (HJE) rokok rata-rata naik sebesar 12,26 persen.

Kompas TV Pemerintah Naikkan Cukai Rokok Tahun Depan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com