Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Opsi Impor LNG untuk Turunkan Harga Gas Industri Menuai Banyak Kritikan

Kompas.com - 13/10/2016, 12:38 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Opsi impor gas alam cair (LNG) yang ditawarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membuat harga gas industri murah, mendapat kritikan dari beberapa kalangan, bahkan dari internal pemerintah.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, sepertinya opsi impor LNG menjadi jalan keluar untuk memenuhi permintaan Presiden RI Joko Widodo, gas murah untuk industri maksimal enam dollar AS per MMBTU.

“Tetapi kalau impor gas, itu kan harus menyediakan FSRU (Floating Storage Regasification Unit) terminal, atau tangki penampungnya. Jadi artinya, (opsi) ini hanya mengalihkan persoalan (hari ini) ke dua-tiga tahun ke depan,”ucap Airlangga ditemui di sela-sela Trade Expo Indonesia ke-31 di Jakarta, Rabu (12/10/2016).

Airlangga menyampaikan, untuk membangun floating terminal itu dibutuhkan waktu dua hingga tiga tahun. Sementara saat ini infratuktur tersebut masih terbatas.

“Kalau impor kan harus punya tangki terminal. Itu bangunnya dua-tiga tahun, kelamaan,” kata dia. “FSRU Lampung bisa digunakan. Hanya saja kan sekarang pemanfaatannya belum optimum.”

Semakin Kacau

Dihubungi terpisah, ekonom Universtas Indonesia (UI) Faisal Basri juga mempertanyakan hal yang sama, terkait opsi yang disampaikan Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan itu.

“Tambah kacau ini para pejabat. Impor kan perlu fasilitas penampung. Kan tidak bisa disimpan di sembarang tempat,” kata Faisal kepada Kompas.com, Kamis (13/10/2016).

Sementara itu, beberapa pihak juga tidak yakin opsi impor LNG dapat membuat harga gas industri menjadi lebih murah, maksimal enam dollar AS per MMBTU sampai end user.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution adalah salah satu pihak yang tidak yakin opsi impor bisa membuat harga gas industri menjadi murah.

Bahkan dari internal Kementerian ESDM sendiri, yakni Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi IGN Wiratmadja Puja, juga mengakui hal itu.

Wiratmadja mengklarifikasi informasi tidak benar terkait perbandingan harga gas industri dengan beberapa negara.

Berdasarkan harga periode Juni 2016, rata-rata harga gas di tingkat industri Indonesia yaitu 8,3 dollar AS per MMBTU. Angka ini memang lebih tinggi dibandingkan Malaysia yang hanya 6,6 dollar AS per MMBTU.

“Tetapi ingat, di Malaysia itu pemerintahnya tidak mengambil bagian negara, tidak mengambil PNBP, jadi dia subsidi,” kata Wiratmaja.

Namun, harga gas di tingkat industri di Thailand mencapai 7,5 dollar AS per MMBTU, di Singapura 15,6 dollar AS per MMBTU, bahkan di Jepang sampai level 19 dollar AS per MMBTU.

Adapun yang disebut-sebut selama ini bahwa harga gas di negara lain kisaran 4 dollar AS itu sebenarnya adalah harga gas LNG saat masuk ke pelabuhan dan belum diolah (landed price).

Untuk landed price ini, Wiratmaja mengatakan di Indonesia rata-rata harganya 4,2 dollar AS.

Angka tersebut lebih rendah dibandingkan landed price di Belgia 4,3 dollar AS, di China 4,4 dollar AS, di India 4,5 dollar AS, dan di Korea 4,55 dollar AS.

Landed price di Indonesia hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan Malaysia yang di level 4 dollar AS.

“Sehingga kalau ada yang bilang impor LNG saja supaya harga gasnya murah, enggak juga. Karena (LNG) yang ada dalam negeri juga sudah murah (4,2 dollar AS),” ucap Wiratmaja.

Kompas TV Apa Dampak Holding BUMN Energi?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Whats New
BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Whats New
Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Whats New
Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Rilis
INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

Whats New
Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Whats New
OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

Rilis
Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Whats New
Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Work Smart
INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Whats New
Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal 'Jangkar' Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal "Jangkar" Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Whats New
Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Whats New
Lebaran 2024, KAI Sebut 'Suite Class Compartment' dan 'Luxury'  Laris Manis

Lebaran 2024, KAI Sebut "Suite Class Compartment" dan "Luxury" Laris Manis

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com