Optimisme Pemerintah terutama berlatar dari data sebaran produksi yang pada 2013 disebut mencapai luas 21.348 hektar di sembilan kabupaten kota sentra usaha garam.
Data itu menyebut juga ada 7.981 hektar lahan produksi di 33 kabupaten kota penyangga usaha garam.
Solusi pun disodorkan Pemerintah pada waktu itu, berupa penerapan teknologi ulir filter (TUF) dan geomembran pada 20 sentra produksi garam dan daerah penyangga program pemberdayaan usaha garam rakyat.
Diyakini, teknologi ini akan mendongkrak produksi garam dari rata-rata 60-80 ton per hektar menjadi 200 ton per hektar. TUF pun diperkirakan bisa menaikkan kadar NaCl menjadi 97 persen, sesuai standar produksi.
Kabar terbaru, Pemerintah mengoptimalkan potensi garam di Desa Bipolo, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk segmen pasar industri. Diyakini, kualitas garam dari desa ini akan sekelas produk asal Australia.
"Kami menggunakan metode pembuatan garam sebagaimana yang dilakukan oleh kompetitor di Australia,” tegas Budiono, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (25/8/2016).
Tambak garam di Bipolo itu mulai dikembangkan PT Garam sejak Mei 2016 di atas lahan seluas 385 hektar. Panen perdananya diperkirakan berlangsung pada Oktober 2016, dengan produksi tahunan kelak mencapai 40.000 ton sampai 50.000 ton garam industri per tahun.
Investasi untuk proyek itu mencapai Rp 4,5 miliar dan masih akan berlanjut, diperkirakan hingga mencapai Rp 10 miliar. Selain di Kupang, produksi serupa akan dikembangkan pula di Nagekeo dan Ende—juga di NTT—serta di Nusa Tenggara Barat, Pulau Kalimantan, dan Pulau Sulawesi.
Total lahan ditargetkan meluas sampai 8.000 hektar dan produksi tahunannya naik sampai 700.000 ton sampai 800.000 ton per tahun. Harapannya, produksi dari Bipolo dan daerah-daerah lain ini dapat menggantikan pasokan impor, terutama bagi industri makanan minuman.
Menurut Budiono, dari total impor garam pada 2015, sebanyak 1,7 juta ton merupakan garam untuk industri kimia, tepatnya industri chlor-alkali plants (CAP). Lalu, sekitar 350.000 ton sampai 400.000 ton yang lain diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman.
Budiono mengakui, Indonesia belum punya garam untuk industri CAP. Padahal, kata dia, proses pengolahan garam untuk mencapai kualitas CAP sebenarnya tidak terlalu sulit, cuma butuh proses pencucian.
Deputi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono juga memastikan produksi garam Bipolo memang ditujukan untuk kebutuhan industri, setidaknya industri makanan dan minuman.
"Untuk di tempat ini (Bipolo), garam diolah dan dibersihkan supaya hasil hasilnya menjadi lebih tinggi dan masuk dalam kategori garam untuk industri," kata Agung.
Saat ini fokus produksi garam yang mengarah ke luar Jawa dan Madura, tidak hanya melibatkan PT Garam, tetapi juga perusahaan swasta. Di pesisir Bipolo, lanjut Agung, akan dibangun pula dermaga untuk pengiriman garam ke daerah lain memakai kapal.
Meski demikian, optimisme tetap belum menyebar rata. Terlebih lagi, Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) menyodorkan perhitungan yang berbeda.
Kalaupun berdekatan lokasinya, belum tentu kebutuhan garam industri itu terpenuhi dari sentra garam terdekat.
Sekali lagi, asin garam tak hanya bicara panjang garis pantai dan urusan makanan. Karenanya, cerita soal garam nasional bisa jadi masih akan panjang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.