Tambak garam di Bipolo itu mulai dikembangkan PT Garam sejak Mei 2016 di atas lahan seluas 385 hektar. Panen perdananya diperkirakan berlangsung pada Oktober 2016, dengan produksi tahunan kelak mencapai 40.000 ton sampai 50.000 ton garam industri per tahun.
Investasi untuk proyek itu mencapai Rp 4,5 miliar dan masih akan berlanjut, diperkirakan hingga mencapai Rp 10 miliar. Selain di Kupang, produksi serupa akan dikembangkan pula di Nagekeo dan Ende—juga di NTT—serta di Nusa Tenggara Barat, Pulau Kalimantan, dan Pulau Sulawesi.
Total lahan ditargetkan meluas sampai 8.000 hektar dan produksi tahunannya naik sampai 700.000 ton sampai 800.000 ton per tahun. Harapannya, produksi dari Bipolo dan daerah-daerah lain ini dapat menggantikan pasokan impor, terutama bagi industri makanan minuman.
Menurut Budiono, dari total impor garam pada 2015, sebanyak 1,7 juta ton merupakan garam untuk industri kimia, tepatnya industri chlor-alkali plants (CAP). Lalu, sekitar 350.000 ton sampai 400.000 ton yang lain diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman.
Budiono mengakui, Indonesia belum punya garam untuk industri CAP. Padahal, kata dia, proses pengolahan garam untuk mencapai kualitas CAP sebenarnya tidak terlalu sulit, cuma butuh proses pencucian.
Deputi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono juga memastikan produksi garam Bipolo memang ditujukan untuk kebutuhan industri, setidaknya industri makanan dan minuman.
"Untuk di tempat ini (Bipolo), garam diolah dan dibersihkan supaya hasil hasilnya menjadi lebih tinggi dan masuk dalam kategori garam untuk industri," kata Agung.
Saat ini fokus produksi garam yang mengarah ke luar Jawa dan Madura, tidak hanya melibatkan PT Garam, tetapi juga perusahaan swasta. Di pesisir Bipolo, lanjut Agung, akan dibangun pula dermaga untuk pengiriman garam ke daerah lain memakai kapal.
Meski demikian, optimisme tetap belum menyebar rata. Terlebih lagi, Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) menyodorkan perhitungan yang berbeda.
Merujuk data pada akhir 2014 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, AIPGI menyebutkan, produksi garam nasional masih di kisaran 2,2 juta ton per tahun sementara kebutuhan mencapai 3,9 juta ton per tahun. Itu belum spesifik dibagi soal kualifikasi kualitas garam.
Menurut Ketua AIPGI Toni Tanduk, lahan garam nasional termasuk yang dikelola PT Garam (Persero) hingga akhir 2015 adalah 25.064 hektar. Di luar itu, ada lahan prospektif seluas 17.190 hektar.
"Kalau produktivitas lahan prospektif itu 60 ton per hektar, kemungkinan ada tambahan produksi garam satu juta ton. Kalau 100 ton per hektar (lahan prospektif), ya (baru) ada tambahan 1,7 juta ton," kata Toni, Senin (26/9/2016).
(Baca juga: Faisal Basri: Pemerintah Sanggup Sediakan Lahan untuk Jalan Tol, tetapi Susah untuk Tambak Garam Rakyat...)
Catatan tambahan, tidak semua lokasi industri yang butuh garam berkualitas tinggi berada di lokasi yang sudah punya sentra garam. Berdekatan pun kadang-kadang tidak.
Kalaupun berdekatan lokasinya, belum tentu kebutuhan garam industri itu terpenuhi dari sentra garam terdekat.
Sekali lagi, asin garam tak hanya bicara panjang garis pantai dan urusan makanan. Karenanya, cerita soal garam nasional bisa jadi masih akan panjang.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.