Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Dua Tahun yang Berat, Namun Pondasi Semakin Kokoh

Kompas.com - 20/10/2016, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

Kemunculan Joko Widodo dalam kancah perpolitikan nasional ibarat dongeng indah yang bisa membuat orang terharu bahkan menitikkan air mata.

Nama harumnya meroket cepat dari mulai menjabat Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga akhirnya menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Namun, sewajarnya dongeng, selalu ada masa kritis, tragis, menyedihkan dalam satu bagian episodenya. Tuhan memang mengatur demikian, sebab tak mungkin kebahagiaan dapat dirasa jika tak pernah merasakan pahitnya kepedihan.

Dalam konteks ekonomi, Jokowi masuk ke Istana pada saat yang tidak tepat. Mantan pengusaha mebel itu menduduki kursi kepresidenan justru saat perekonomian global mulai memasuki siklus menurun yang tidak bisa diprediksi kapan akan pulih kembali.

Pertumbuhan ekonomi global pada tahun penuh pertama Jokowi memerintah yakni 2015, hanya tumbuh 3,1 persen, turun dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 3,4 persen.

Jatuhnya perekonomian global utamanya disebabkan oleh perlambatan ekonomi Tiongkok, penurunan harga komoditas, dan ketidakpastian normalisasi kebijakan moneter AS.

Kondisi ini langsung berdampak pada perekonomian Indonesia. Maklum saja, perekonomian Indonesia masih sangat dipengaruhi lingkungan eksternal.

Ekonomi Indonesia rentan terhadap gejolak eksternal karena strukturnya masih sangat mengandalkan impor; berbasis komoditas; dan pasar keuangannya sangat dangkal.

Tahun 2015, perekonomian Indonesia pun terpuruk. Ekspor jatuh, kredit perbankan menurun, rupiah melemah, aliran dana asing tersendat, dan ujungnya pertumbuhan ekonomi melambat.

Harga-harga komoditas yang jadi andalan ekspor Indonesia turun signifikan. Harga batubara turun dari 75 dollar AS per ton pada 2014 menjadi 57 dollar AS per ton.

Harga minyak kelapa sawit turun dari sekitar Rp 7,5 juta per ton menjadi Rp 6,7 juta per ton. Begitu pula dengan komoditas primadona lainnya seperti karet, nikel, timah, alumunium, kopi, dan tembaga.

Alhasil, ekspor Indonesia sepanjang tahun 2015 hanya 150,3 miliar dollar AS, turun 14 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 176 miliar dollar AS.

Anggaran negara pun menjadi carut marut. Jika pada masa presiden-presiden sebelumnya, anggaran penerimaan dan belanja selalu dinaikkan dalam APBN-P, saat era Jokowi, anggaran penerimaan dan belanja justru diturunkan.

Pada APBN 2015, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 1.793,6 triliun dan belanja negara sebesar Rp 2.039,5 triliun.

Lantas dalam APBN-P 2015, pendapatan negara diturunkan menjadi Rp 1.761,6 triliun, sementara belanja negara dipangkas menjadi Rp 1.984,1 triliun.

Kendati sudah direvisi, realisasi penerimaan negara tetap jauh di bawah target, yakni hanya Rp 1.504,5 triliun atau 85,4 persen dari target APBN-P. Adapun realisasi belanja sebesar Rp 1.810 triliun atau 91,2 persen dari target.

Ujungnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2015 hanya 4,71 persen, melambat dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 5 persen.

M Fajar Marta/Kompas.com Pertumbuhan ekonomi kuartalan

Dua tahun

Hingga dua tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi yang tepat jatuh pada tanggal 20 Oktober 2016, kondisi perekonomian global dan domestik belum juga membaik.

Ekonomi global bahkan berpotensi tumbuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya disertai dengan penurunan volume perdagangan dunia yang cukup signifikan.

Pertumbuhan ekonomi AS pada 2016 diperkirakan lebih rendah dari perkiraan semula. Sementara itu, masih lemahnya aktivitas investasi dan konsumsi di Eropa, semakin memperlambat pertumbuhan ekonomi Eropa.

Potensi pelemahan ekonomi juga dialami Tiongkok, sejalan dengan melambatnya investasi, pengeluaran pemerintah, dan masih lemahnya konsumsi.

Di pasar komoditas, harga minyak dunia masih rendah sekitar 45 dollar AS per barrel, masih jauh di bawah harga pada tahun 2014 yang di atas 100 dollar AS per barrel.

Perekonomian global yang masih lemah menyebabkan kinerja ekspor Indonesia terus terpuruk.

Halaman:


Terkini Lainnya

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com