JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi VI DPR memperingatkan Menteri BUMN Rini Soemarno untuk tidak gegabah membentuk enam holding BUMN tanpa persetujuan DPR.
Bila holding BUMN tetap dilakukan, Komisi V menjamin akan ada masalah besar yang muncul sebagai konsekuensinya.
"Kita lihat nanti konsekuensinya, (akan) jadi masalah besar, masalah besar. Sesuai undang-undang fungsi kami yakni pengawasan," ujar Wakil Ketua Komisi VI Azam Asman Natawijaya di Gedung DPR Jakarta, Kamis (20/10/2016).
Hingga saat ini kata dia, Komisi VI DPR belum pernah diajak bicara tentang rencana enam holding BUMN oleh Kementerian BUMN. Bahkan kabar soal holding hanya didapatkan Komisi VI dari pemberitaan media.
Seharusnya tutur Azam, rencana holding BUMN harus dibicarakan dengan Komisi VI yang membidangi BUMN. Apalagi, holding bisa mengubah komposisi saham di dalam perusahaan-perusahaan BUMN.
Oleh karena itu, Azam mengingatkan pentingnya pengawasan terkait rencana enam holding BUMN.
"Kalau satu saat holding itu jadi masalah, siapa yang mau tanggung jawab?," kata dia.
Meski begitu Azam mengakui ada kendala berkomunikasi dengan Rini Soemarno. Sebab sejak akhir 2015, pimpinan DPR mengeluarkan surat larangan untuk Rini datang ke DPR.
Surat itu merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Pansus kasus Pelindo II yang meminta Presiden Joko Widodo mencopot Rini Soemarno lantaran terbukti melanggar konstitusi dan perundang-undangan.
Salah satu kasusnya yakni perpanjangan pengelolaan PT JICT oleh Pelindo II kepada perusahaan asing asal Hongkong yakni Hutchinson Port Holdings (HPH) hingga 2039 mendatang.
Sejak saat itu, Rini tidak pernah datang ke DPR. Tugasnya digantikan oleh Menteri Keuangan yang ditunjuknya oleh Presiden Joko Widodo.
Sebelumnya, Rini Soemarno mengungkapkan tengah mengebut "holdingisasi" BUMN untuk enam sektor, yakni sektor migas, tambang, keuangan, jalan tol, perumahan serta konstruksi.
Rini meyakini holding BUMN yang ia rencanakan akan membuat perusahaan-perusahaan BUMN bisa berlari lebih cepat dalam mengembangkan bisnisnya.