Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

Berbagi Frekuensi Menguras Energi

Kompas.com - 12/11/2016, 11:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Jika PP revisi sudah diundangkan, berarti operator lain tinggal menyewa beberapa megahertz frekuensi tanpa harus membangun jaringan BTS untuk bisa beroperasi. Telkomsel merasa cara ini akan menggerogoti pendapatan mereka, padahal anak perusahaan PT Telkom itu jadi andalan untuk mengisi kocek negara, tidak hanya dari dividen tetapi juga berbagai pajak, yang jumlah keseluruhan bisa mencapai sekitar Rp 30 triliun.

Tidak relevan

Dari sisi pemerintah, sharing prasarana back bone wajib, terutama jika di satu kawasan hanya ada satu jaringan tulang punggung serat optik, wajib disewakan jika ada operator yang minta.

Bagi operator yang akan meluaskan jaringan ke Papua, menyewa jaringan lebih efisien dibanding membangun sendiri dan harus ada hitungan investasi dan insentif jika operator lain akan menyewa jaringan tadi.

Hal sama akan terjadi di perkotaan padat ketika kapasitas jaringan Telkomsel berada di zona merah, sementara kapasitas operator lain masih tersisa. Pelanggan XL kurang dari sepertiga pelanggan Telkomsel namun keduanya memiliki lebar spektrum frekuensi yang sama, 52,5 MHz di rentang 900 MHz, 1800 MHz dan 2100 MHz.

Pendapatan operator yang menyewakan berpotensi tergerus karena operator penyewa mungkin lebih agresif agar meraup pelanggan lebih banyak dan pendapatan lebih besar. Namun memanfaatkan frekuensi yang mubazir selain boleh menetapkan sewa yang cukup tinggi menutup kemungkinan itu.

Isu "recehan" yang ditiupkan berbagai pihak soal tergerusnya pendapatan operator yang Indonesia asli sementara penyewa yang menggerogoti adalah operator milik asing, tidaklah relevan.

Memang 85 persen saham PT Indosat milik operator Ooredoo Qatar dan 65 persen saham XL Axiata milik kelompok Axiata, Malaysia, Tri milik Hutchison Hongkong, dan 35 persen saham Telkomsel pun milik SingTel Singapura.

Keniscayaan untuk berbagi prasarana tinggal menunggu waktu, karena lisensi modern mengatur ketat kewajiban operator penuhi janji membangun di seluruh kawasanTanah Air. Tinggal lagi sikap pemerintah – Menko Perekonomian – yang ditunggu, karena draft final revisi kedua PP ada di tangan mereka sudah lebih dari sebulan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com