Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Geothermal Ditolak, Pendekatan Sosial ke Masyarakat Jadi Solusi

Kompas.com - 14/11/2016, 07:39 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengembangan energi panas bumi atau geothermal kerap ditolak oleh masyarakat lantaran berbagai faktor, mulai dari minimnya edukasi hingga kepentingan politik.

Pemerintah pun disarankan menggunakan pendekatan yang berbeda kepada masyarakat. Pendekatan yang dimaksud yakni pendekatan sosial masyarakat adat.

"Saya ambil beberapa contoh (ekplorasi geothermal), di Aceh kami melakukan pendekatan ke kepala suku, ini penting juga sebab ada pemimpin informal," ujar pakar panas bumi dari Universitas Indonesia Daud Yunus dalam acara diskusi Energi Kita, Jakarta, Minggu (13/11/2016).

Pendekatan dengan langsung mendatangi pemimpin adat atau kepala suku juga berhasil Daud Yunus terapkan di Pontianak dan Tampomas.

Meski tidak semua eksplorasi merupakan eksplorasi energi panas bumi, namun cara itu dinilai efektif.

Selain itu, pendekatan dalam jangka panjang juga penting dilakukan kepada masyarakat yang ada di daerah kaya energi panas bumi. Setidaknya ada 265 lokasi di Indonesia yang kaya akan energi panas bumi.

"Jangka panjang edukasi ke masyarakat harus dilakukan, katakanlah di SMA. Harus ada pendidikan ke arah pemahaman energi terutama Geothermal. Lalu training guru, guru geografis tentang geothermal," kata Daud Yunus.

Pendekatan Sosial

Sementara itu Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Syamsir Abduh setuju dengan usulan pendekatan sosial untuk mencairkan cara pandang sebagai masyakarat yang beku lantaran minimnya informasi.

Bahkan ia mengusulkan agar beberapa masyarakat yang daerahnya akan dikembangkan untuk energi panas bumi, diajak untuk meninjau daerah lain yang menjadi percontohan pengembangan energi panas bumi.

Hal itu dinilai penting agar masyarakat bisa melihat langsung pengembangan energi panas bumi sekaligus bisa berdialog dengan masyarakat sekitar.

Meski begitu, Syamsir tetap mengatakan bahwa pendekatan seperti itu tidak mungkin bisa diseragamkan sebab sejumlah daerah memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda.

"Misal PLTA di Kalimantan Utara, sebelumnya beberapa masyarakat juga ada penolakan. Akhirnya beberapa tokoh masyarakat terutama informal leader-nya pergi ke daerah lain untuk menunjukkan bahwa pembangkit listrik tenaga air yang dibuat seperti itu contohnya," kata dia. 

"Tidak ada masalah, akhirnya mereka setuju. Itu contoh yang bisa diselesaikan. Tapi daerah itu punya kearifan lokal. Tidak bisa dipukul rata dengan pendekatan yang sama," lanjut Syamsir.

Politik

Sebelumnya, pengembangan energi panas bumi di Indonesia masih sangat minim yakni 4 persen dari potensi yang ada. Padahal, 40 persen potensi energi panas bumi di dunia berada di Indonesia.

Salah satu faktor yang membuat pengembangan energi panas bumi minim yakni kerap adanya penolakan dari masyarakat. Selain masih rendahnya edukasi dan sosialiasi, ada faktor kepentingan politik di balik penolakan tersebut.

"Ada resisteni berbau Pilkada. Ada seperti itu misal satu calon mendukung panas bumi, yang lawanya menolak itu. Ketika itu menolak maka akan ada info yang negatif (soal panas bumi)," ujar Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Yunus Syaefulhak.

(Baca: Enam Tantangan Utama Pengembangan Panas Bumi di Indonesia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com