Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Mengembalikan Laut Nusantara sebagai Surga Ikan

Kompas.com - 18/11/2016, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

Peraturan Menteri (permen) 56/2014 tentang moratorium perizinan kapal eks asing dan Permen 57/2014 tentang larangan transhipment dikeluarkan Susi untuk mengatasi penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai aturan (illegal, unreported, unregulated/IUU fishing).

Aturan-aturan tersebut bertujuan untuk membentengi perairan Indonesia dari pencurian ikan yang telah merugikan Indonesia sekitar Rp 200 triliun rupiah per tahun.

Penerapan kedua aturan tersebut, ditambah dengan penegakan hukum yang tegas berupa penenggelaman kapal asing yang tertangkap mencuri ikan, sejauh ini telah membuat praktik illegal fishing di Indonesia berkurang drastis.

Namun, pemberantasan illegal fishing, menurut pemilik maskapai penerbangan Susi Air itu, belumlah cukup untuk menciptakan industri penangkapan ikan yang lestari dengan ekosistem laut yang terjaga.

Dibutuhkan pula reformasi dan pengaturan untuk menanggulangi overfishing dan destructive fishing yang dilakukan oleh nelayan dan kapal-kapal ikan domestik.

Kajian Balitbang Kelautan dan Perikanan menunjukkan, biomassa ikan akan tetap turun, yakni sebanyak 26 persen pada tahun 2035,  jika kebijakan pemberantasan illegal fishing tidak disertai reformasi domestik.

Biomassa ikan baru akan naik, yakni 25 persen pada tahun 2035, apabila pemberantasan illegal fishing dipadukan dengan reformasi domestik.

Karena itulah, untuk mengatur penangkapan ikan oleh nelayan domestik, Susi mengeluarkan Permen 01/2015 tentang  penangkapan lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.), dan rajungan (Portunus pelagicus spp.), permen 02/2015 tentang larangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik, dan permen 15/2016 tentang pengaturan kapal pengangkut ikan hidup.

Pukat

Pelarangan alat tangkap pukat, sebenarnya bukan kebijakan baru. Sejak tahun 1980, alat tangkap pukat sudah dilarang melalui Keppres 39/1980 tentang penghapusan jaring pukat (trawl). Alat tangkap inipun sudah dilarang secara internasional.

Alat tangkap yang menyerupai kantong jaring ini dilarang karena semua jenis ikan dan semua ukuran ikan, termasuk benih ikut tertangkap. Dampaknya, kelestarian pasokan ikan akan terganggu.

Meskipun dilarang, penggunaan pukat, dengan segala modifikasinya termasuk cantrang  tetap saja berlangsung. Kondisi perairan yang makin kritis memaksa nelayan di sejumlah daerah menggunakan pukat.

Dengan pukat, yang sifatnya menyapu bersih perairan, nelayan masih bisa mendapatkan ikan. Sementara dengan alat tangkap lain seperti pancing, gill net, atau long line, yang sifatnya ramah lingkungan, ikan sudah sulit didapat.

Di perairan yang masih kaya ikan, nelayan umumnya tidak menggunakan pukat. Selain para nelayan juga sadar, penggunaan pukat termasuk cantrang hanya akan merusak kelestarian alam yang ujungnya bakal menjadi bumerang bagi nelayan sendiri.

Dilihat dari jumlah alat tangkap yang digunakan, mayoritas nelayan Indonesia sebenarnya tidak menggunakan pukat. Dari total alat tangkap yang digunakan nelayan, jumlah alat tangkap pukat hanya 2 persennya saja. Penggunaan pukat terkonsentrasi di Jawa dan NTB.

Persoalannya, nelayan pengguna pukat, setelah beroperasi di satu tempat, terus bergerak ke tempat lain yang masih berlimpah ikan. Tak hanya menguras ikan di tempat lain, keberadaan kapal pukat juga memicu konflik horizontal dengan nelayan lokal yang menggunakan alat tangkap lain.

Karena itulah Susi ingin benar-benar menghapuskan penggunaan pukat di perairan Indonesia. Perempuan kelahiran Pangandaran ini meyakini, dengan naiknya biomassa ikan seiring penerapan kebijakan IUU fishing, nelayan akan lebih mudah menangkap  dengan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Terbukti, sepanjang tahun ini, tangkapan nelayan di daerah seperti Cilacap, Kendari, Kwandang, Pemangkat, Sibolga, Pekalongan, Prigi, Tanjungpandan, Ternate, dan Kejawanan meningkat signifikan.

Namun, Susi juga sadar, penghapusan pukat akan berdampak pada ribuan nelayan dan anak buah kapal pengguna pukat.

Terbukti, kebijakan tersebut memicu protes dari para nelayan. Sebab, memang tak mudah mengubah kebiasaan nelayan yang berpuluh-puluh tahun terbiasa menggunakan pukat. Belum lagi masalah permoalan untuk mengganti kapal dan alat tangkap.

Karena itulah, KKP pada tahun 2016 ini, menganggarkan bantuan sebanyak 1.719 kapal untuk koperasi-koperasi nelayan. KKP juga memberi bantuan alat tangkap ramah lingkungan untuk para nelayan.

Dari segi permodalan, KKP bersama OJK dan perbankan meluncurkan program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (Jaring) yang intinya mempermudah penyaluran kredit kepada para pengusaha ikan dan nelayan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com