Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Bahasa Simbolik Presiden

Kompas.com - 25/11/2016, 05:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Seorang teman mengirim kalimat bijak, dan saya suka membacanya. Maklum sebagai manusia, kita sangat sering mudah terprovokasi. Sering “terpancing.” Bunyi kalimat itu begini:

“Jangan risaukan omongan orang. Sebab orang membaca dunia dengan pemahaman dan pengalaman yang berbeda.”

Sikap seperti itu sebenarnya sudah lama ada dalam hidup saya. Saat tidak naik di saat kelas 5 SD. Saya menjadi amat gusar. Itu terjadi zaman silam. Saya gusar melihat ibunda menangis. Gusar digunjingkan guru yang selalu membanggakan anak-anak tertentu yang dalam pikiran saya saat itu “tidak keren.”

Tidak keren karena anak-anak yang dapat rangking menurut saya hidupnya terlalu steril, cengeng, kurang bandel, dan selalu ada yang membela. Sedangkan saya, ya begitulah, membela diri, ya sendiri saja. Kalau ditertawakan, saya ikut tertawa saja.

Begitu juga selanjutnya. Setelah sungguhan belajar, toh bisa juga masuk ranking. Tapi lagi-lagi saya merasa biasa saja. Saya malah gemas kalau nilai yang saya capai “diintip” teman-teman lainnya. Dibanding-bandingkan.

Bagi saya, mau rangking atau tidak bukan urusan. Yang penting, jangan ulangi kegagalan kemarin. Saya maunya berkembang, menjadi lebih baik. Sedangkan orang-orang di sekitar kita maunya serba instant. Maunya tampak hebat.

Tak Perlu Menjelaskan

Kemarin sebuah televisi bermaksud mewawancarai saya. Mereka meminta saya menjadi ahli tafsir. Maksud saya, mereka meminta saya menjelaskan apa makna “pemikiran Presiden pada tokoh-tokoh politik di beranda Istana.”

Sebelumnya, Anda pasti tahu, Presiden berturut-turut berkunjung ke Kopassus, Kostrad, Paskhas, Brimob dan Marinir, dan lagi-lagi bertanya,”Ini leadership apa?"

Dulu juga begitu, saat Gubernur Joko Widodo pergi blusukan, semua orang juga ingin tahu, apa maknanya? Sama ketika Menteri Dahlan yang juga blusukan, bersepatu kets. Juga orang banyak bertanya.

Saya sendiri sebenarnya senang melihat pemimpin bekerja, periksa lapangan, tak hanya bicara dan duduk dengan staf-stafnya saja.

Bagi saya mereka semua ingin mengajak kita bersunguh-sungguh dalam melayani publik.  Ya itu saja. Tetapi media masa “minta penjelasan” lagi. Bahkan berjam-jam, bersama dua tiga orang pakar pula. Kadang membuat kita bingung juga.

Seorang teman pun mengirim tulisan seorang pengamat politik. Ia menjelaskan kunjungan-kunjungan Presiden ke markas-markas militer sebagai pesan terselubung, yang artinya beliau memilih diam dan “mengasah pisau,” tatkala yang lain berteriak-teriak mangancam.

Kembali ke pertanyaan wartawan tadi tentang undangan Presiden pada petinggi-petinggi parpol untuk makan siang di Istana, tetap saja sulit dijelaskan. Dan seperti biasa pula, banyak elite yang menafsirkan.

Saya sendiri memilih diam dan merenung, duduk di tepi sungai di Ubud yang sulit dijangkau sinyal telepon.

Pertanyaannya adalah, haruskah bahasa simbolik dijelaskan, ditafsirkan, sementara aktor utamanya membuatnya serba santai, bahkan penuh jenaka.

“Wartawan tanya, makan apa sama bu Mega, saya jawab  “Ikan  bakar… mereka tanya lagi…,” itu jawaban presiden.

Juga soal naik kuda di rumah Jend. (Purn) Prabowo. Banyak orang minta dijelaskan maknannya. Padahal, kita cukup senyum-senyum saja, kasihan melihat Presiden yang tidak biasa naik kuda, canggung, sementara “sahabatnya” begitu gagah, biasa berkuda.

Ya, itu sebuah bahasa simbolik tentang kedekatan, keramahan, mengesankan seperti tidak ada masalah diantara mereka. Kita pun bisa merasakan aroma “ketentraman,” peaceful.

Ah indahnya pertemanan. Pasti mereka melakukan itu karena mereka cinta tanah air. Itu saja.

Saya akhirnya berhasil menahan diri karena pesan bijak via WA yang saya terima juga bilang begini:

“Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, mereka yang sudah menyukaimu tidak membutuhkan itu. Sedangkan yang membencimu, pasti tetap tidak percaya.”

Untuk apa alasan ?

Saya pikir semua itu benar adanya. Dulu, saat saya “dikerjai” orang-orang tertentu yang tak menginginkan saya menjadi A atau B di kampus, saya selalu berusaha menjelaskan. Saya berupaya keras membantah omongan-omongan negatif yang tak masuk akal. Alasannya menurut saya, sangat logis.

Saya berharap akan semakin banyak yang mempercayai saya. Maklum orang kerja selalu jadi musuh bersama bagi yang maunya santai-santai, bagi-bagi saja, memelihara social – harmony. Sedangkan orang kerja menginginkan perubahan. Bagi orang lain, perubahan adalah ancaman.

Tetapi belakangan saya sadar, tak ada orang yang berubah setelah mendengarkan alasan-alasan atau argumentasi saya. Yang suka sama saya tetap baik dan postif, yang membenci, ya tetap antipati, malah semakin agresif.

Jadi, kembali ke Presiden kita, entah apa yang harus dijelaskan? Yang tidak suka, ya tetap bicara negatif, dan yang positif, ya tetap bisa tersenyum dan mungkin tetap merasakan ketentraman, damai lahir-batin.

Lagi pula, alasan atau penjelasan tentang diri memang tak perlu. Dalam teori mindset, hanya orang-orang yang merasa dirinya pintar dan beranggapan kepintarannya abadi, ditemukan akan menjadi orang yang “bekerja” untuk dinilai.

Jadi, hanya orang-orang seperti itu yang melakukan sesuatu demi pencitraan. Mereka jadi sulit maju, dan sulit membuat bangsa dan orang sekitarnya maju.

Itu menurut Prof. Carol Dweck (Stanford) yang meneliti tentang orang-orang ber-mindset tetap dan yang ber-mindset tumbuh.

Yang ber-mindset tetap itu, karena biasa mendapat nilai bagus di sekolah, selalu merasa cemas bila menyaksikan “saingannya” terlihat bagus, atau berpotensi menyalib, apalagi bila mereka berprestasi dan bisa melakukan “hal-hal berat” yang dulu tidak bisa ia jalankan.

Bagi mereka, prestasi hanya untuk mereka. Dan bila kurang bagus hasilnya, ia pun akan beralasan, membantah berita-berita negatif, kuping tipis, dan seterusnya.

Ah sudahlah. Tak semua orang cerdas akan cerdas terus selama-lamanya. Yang bodoh juga tak akan bodoh selama-lamanya. Dan menurut saya, yang akan menjadi semakin bodoh, atau tetap bodoh ya mereka yang selalu ingin menjelaskan tentang posisi dirinya.

Masalahnya, Anda ingin diomongkan menjadi orang hebat, atau ingin menjadi “lebih baik”?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Whats New
Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com