Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/11/2016, 12:12 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Hal serupa terjadi pada penerapan cost recovery di industri hulu migas Indonesia. Semua biaya yang dikeluarkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) akan dikurangkan terhadap pendapatan hasil produksi, sebelum ada proses bagi hasil dengan Pemerintah. Meski begitu, cost recovery juga tak asal-asalan diberikan.

"Hanya diberikan untuk eksplorasi yang menemukan cadangan terbukti bernilai ekonomis dan yang sudah berproduksi," kata Kepala Humas SKK Migas Taslim Z Yunus.

Proporsi pembagian hasil usaha migas antara Pemerintah dan KKKS saat ini dipatok di kisaran 85 persen berbanding 15 persen untuk minyak dan kisaran 70 persen berbanding 30 persen untuk gas.

Pembagian itu tak selalu bulat, tergantung pada komponen perhitungan akuntansi migas. Pembagian dilakukan setelah pendapatan dikurangi cost recovery dan sejumlah komponen biaya.

Riilnya, Pemerintah mendapatkan kisaran 60 persen dari total pendapatan usaha hulu migas.

Risiko dan krisis

Bicara eksplorasi, satu catatan tebal harus disebutkan, bahwa tak semua upaya pencarian sumber cadangan baru terbukti tersebut memberikan hasil seperti harapan. Risiko kegagalan menjadi tanggungan investor atau perusahaan migas.

Berdasarkan data SKK Migas, selama kurun 2002 sampai semester I/2016, cost recovery senilai 3,9 miliar dollar AS tak bisa dibayarkan kepada perusahaan migas. Buat pembanding, itu hampir menyamai keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2016 DKI Jakarta.

Betul, ketika eksplorasi tak mendapatkan hasil sesuai rencana, semua pengeluaran selama proses pencarian akan hangus. Meski demikian, eksplorasi yang butuh investasi masih jadi kebutuhan bagi Indonesia, bila tak mau terjadi krisis energi dalam waktu dekat.

"Bagaimana pun, migas masih menjadi sumber energi utama Indonesia pada saat ini dan masa mendatang," ujar Taslim.

Faktanya, Indonesia kaya migas bisa jadi masuk kategori semata mitos. Sejak 2004, Indonesia sudah menjadi net importer minyak. Tapi, tak sampai seperempat abad ke depan malah rawan menjadi net importer gas, bila cadangan terbukti tak bertambah dan tingkat konsumsi tetap seperti sekarang.

(Simak pula: VIP Membongkar Mitos Indonesia Kaya Migas)

Belum lagi, Indonesia pun masih lebih banyak mengandalkan sumur migas tua daripada mendapati sumber cadangan terbukti baru. Grafik berikut ini menjadi gambarannya.

Dok SKK Migas Grafis tren data ladang migas Indonesia per akhir 2015

Konsekuensi dari masih diandalkannya sumur-sumur tua untuk pemenuhan kebutuhan migas berimplikasi pada angka produksi yang cenderung terus menurun. Sebaliknya, biaya operasional produksi cenderung tetap, bahkan naik, termasuk untuk pembaruan dan perawatan peralatan.

Setidaknya, jumlah cadangan terbukti migas di suatu wilayah kerja tak akan bertambah lagi. Kalaupun angka produksi dinaikkan, jangka waktu "pengurasan" otomatis berbanding terbalik menjadi lebih pendek.

"Jangan pernah lupa pula, migas adalah industri ekstraktif dan tak terbarukan," ujar Taslim.

Temuan terbaru, tren sumber cadangan terbukti baru migas Indonesia kemungkinan dapat ditemukan di kawasan timur Indonesia dan laut dalam. Konsekuensi dari tren tersebut adalah kebutuhan teknologi lebih tinggi dan biaya lebih mahal, dengan tingkat risiko membesar pula.

Risiko yang membayangi eksplorasi dan kebutuhan migas untuk dipenuhi ini bak simalakama bagi Indonesia. Tentu, simalakama akan makin menjadi-jadi ketika penggantian biaya eksplorasi dan produksi—definisi sederhana dari cost recovery—tak lagi ada.

Ibaratnya, punya sawah tetapi tak tergarap karena tak punya modal untuk mengolah dan memanen, tak perlu susah-susah bermimpi mendapatkan hasil, bukan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com