Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waktunya Melawan Kutukan, Menolak Bala "Resources Curse"

Kompas.com - 05/12/2016, 09:26 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.com
– Generasi mulai kelahiran 60-an dan 70-an, antara lain tumbuh bersama tembang “Kolam Susu” milik Koes Plus.

"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman," dendang Koes Plus lewat lagu yang mereka lansir pada 1973.

Ibarat kata, lagu itu menyatakan hidup di Indonesia tak perlu khawatir soal kebutuhan hidup.

Lalu, generasi sampai 80-an, menikmati betul kemajuan pembangunan dari hasil produksi minyak dan gas bumi (migas) Indonesia. Apakah ini terus berlanjut?

Sudah tanahnya berasa di surga, kekayaan alam di bawah lapisan debu pun tak kalah melimpah. Setidaknya hingga kurun waktu itu.

SHUTTERSTOCK Ilustrasi

Indonesia, misalnya, merupakan salah satu penikmat berkah masa kejayaan minyak (oil boom) hingga akhir 1982. Pada tahun itu, harga minyak dunia anjlok drastis, seperti yang kemudian terulang lagi mulai 2014 hingga sekarang. 

Kenyamanan era kejayaan minyak masih terus terasa bahkan sampai menjelang pergantian abad 20 ke abad 21. Masih kecipratan seliter bensin berbanderol Rp 700?

Sampai saat itu, pendapatan dari sektor migas juga merupakan tulang punggung sekaligus urat nadi perekonomian nasional. Rujukannya, tentu saja postur anggaran negara.

Berbalik ancaman krisis

Namun, musim berganti, situasi berubah. Belakangan, sejumlah kalangan makin gencar mengingatkan bahwa migas seharusnya bukan lagi topangan utama bagi perekonomian bangsa.

Tak perlu juga menunggu Indonesia menjadi seperti Nigeria, bukan? Pada 1987, Bank Dunia sempat menerbitkan paper khusus membandingkan kondisi Nigeria dan Indonesia, untuk memotret situasi sebelum dan sesudah era kejayaan minyak.

Tulisan Brian Pinto tersebut menggambarkan kejatuhan ekonomi Nigeria yang sebelumnya “terlena” dengan pendapatan dari minyak. Ketika laporan ini terbit, Indonesia memang masih terasa baik-baik saja.

Siapa nyana, pada era 1990-an muncul frasa baru di kalangan ekonom untuk situasi serupa, yaitu “resource course” alias “kutukan sumber daya alam”. Kali ini, Indonesia masuk menjadi salah satu negara yang dianggap rawan menjadi salah satu penerima kutukan itu.

Kompas.com/Dani J Ilustrasi: Anjungan pengeboran migas lepas pantai.

Frasa tersebut “menyindir” sekaligus “memperingatkan” negara-negara yang teramat mengandalkan kekayaan sumber daya alam tak terolah sebagai penopang perekonomian.  

Di negara-negara yang dianggap masuk kategori itu, manufakturnya dinilai cenderung tak berkembang, termasuk upaya memberi nilai tambah atas sumber daya alam yang dimiliki.

Masalahnya, industri berbasis sumber daya alam tetaplah aktivitas ekstraktif, yang sumber cadangannya tak bertambah. Di tahap ini, Indonesia sudah menjadi bahan kajian di beberapa lembaga akademis.

Belum lagi, gonjang-ganjing perekonomian dunia yang terpicu oleh beragam kondisi telah pula menggerus harga komoditas dunia. Pendapatan negara dari penjualan komoditas mentah pun turun drastis.

Dalam semua konteks ini, migas bukan perkecualian. Terlebih lagi, sejak 2004 Indonesia sudah menjadi net importer minyak.

Tingkat produksi minyak bumi tak mampu mencukupi pemakaian di dalam negeri. Kebutuhan domestik sudah harus dipasok produk olahan impor.

Bila sumber cadangan baru dan tingkat pemakaian tetap seperti sekarang, Indonesia pun akan segera menjadi net importer gas.

(Baca juga: Mitos atau Fakta, Indonesia Kaya Migas?)

Berbicara dalam sharing session dengan Tenaga Ahli dan Sekretariat Komisi VII DPR, Kepala Humas Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Taslim Z Yunus bahkan mengatakan, dengan tingkat produksi dan konsumsi saat ini Indonesia akan menjadi net importer energi pada 2026.

Dok SKK Migas Proyeksi minyak dan gas bumi Indonesia

Berdasarkan data SKK Migas, data produksi minyak Indonesia per Mei 2016 adalah 832.000 barrel per hari (BPOD), setara sekitar 1 persen produksi minyak dunia.  Adapun produksi harian gas mencapai 8.215 MMSCFD.

“Sejak 2003, produksi gas lebih besar daripada minyak,” ujar Taslim.

Dulu, cadangan minyak Indonesia yang sudah terbukti mencapai sekitar 27 miliar barrel. Per Desember 2015, masih ada cadangan sebanyak 3,6 miliar barrel, setara 0,2 persen cadangan minyak dunia.

(Baca juga: Krisis Energi Migas Menguat)

Sisa yang ada, menurut analisis yang dirujuk SKK Migas hanya akan bertahan hingga 10 tahun ke depan untuk tingkat pemakaian yang tak berubah dari sekarang.

Padahal, konsumsi migas Indonesia rata-rata meningkat sekitar 8 persen per tahun, dengan angka saat ini sekitar 1,6 juta barrel per hari.

Cadangan gas Indonesia pun tak lebih banyak daripada minyak. Merujuk data BP Statistical Review of World Energy pada 2015, saat ini Indonesia memiliki cadangan gas di kisaran 100 TSCF, setara 1,5 persen cadangan gas dunia.

Memburu jurus tolak bala

Sejumlah langkah pun terus dicari dan diupayakan Pemerintah untuk tak membiarkan begitu saja “kutukan” sumber daya alam mewujud nyata di negeri ini.

Upaya memberi nilai tambah serta menggenjot infrastrastruktur dan manufaktur jadi fokus kebijakan, untuk melawan "kutukan" tersebut.

(Baca juga: Jokowi Minta Kepala Daerah Hati-hati Beri Izin Eksploitasi SDA)

Tantangan terbesar adalah pemenuhan kebutuhan energi untuk menggerakkan industri dan perekonomian. Beragam upaya mencari alternatif sumber energi terus dikembangkan.

Namun, semua upaya tersebut butuh waktu untuk bisa mendapatkan hasil, apalagi berpoduksi dan bernilai ekonomis. Tantangan pun berbalik lagi ke industri hulu migas.

(Baca: Eksplorasi Jadi Solusi Krisis)

Setidaknya hingga 2050 sebagaimana paparan Dewan Energi Nasional, Indonesia masih akan bergantung pada migas sebagai sumber energi utama.

Dok SKK Migas Data, tren, dan tantangan migas Indonesia

 
Tanpa ada pencarian yang lebih gencar untuk mendapati sumber cadangan baru (eksplorasi) dan percepatan proses produksi dari sumber yang telah ditemukan, migas pun tak akan sanggup memenuhi tuntutan kebutuhan energi.

(Baca juga: Cost Recovery, Simalakama Migas Indonesia?)

Mau tak mau, investasi untuk sektor hulu migas harus terus didorong. Segala prasyarat untuk mendatangkan investor juga harus dipenuhi.

Terlebih lagi, tren potensi sumber cadangan baru migas mengarah ke laut dalam dan kawasan timur Indonesia, dengan konsekuensi kebutuhan teknologi dan biaya lebih tinggi.

Bila pasokan energi dapat dipastikan, harapannya adalah perburuan jurus tolak bala atas kutukan sumber daya alam bisa melaju lebih kencang. Setidaknya, harapan untuk perekonomian yang tak lagi semata tergantung pada sumber daya alam bakal lebih terjaga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com