Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa yang Mungkin Segera Hilang dari Rupiah?

Kompas.com - 12/12/2016, 23:06 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Meski begitu, tak ada sedikit pun keraguan apalagi upaya berbantahan, harga yang dimaksud adalah Rp 25.000 atau Rp 80.000, merujuk contoh di atas. Kurang-lebih, itulah situasi yang bakal terjadi saat redenominasi diterapkan.

Bila merujuk rencana yang sempat ramai diperbincangkan enam tahun lalu, Bank Indonesia menyiapkan semacam masa transisi.

Selama masa transisi, uang lama dan uang baru hasil redenominasi akan berlaku bersamaan, dengan nilai yang sama meski penulisan nominalnya berbeda.

“Ada tahapannya, dan tahapan itu bisa 5 sampai 7 tahun,” kata Ronald, di sela pelatihan wartawan ekonomi di Semarang, seperti dikutip Kompas.com, Sabtu (24/9/2016).

Kenapa?

Rencana penyederhanaan penulisan nominal rupiah bisa jadi lebih mempertimbangkan kemudahan dan efektivitas pencatatan keuangan. Terlebih lagi, saat ini rupiah tercatat menjadi salah satu mata uang yang memiliki nominal terbesar yang ada di dunia, yaitu Rp 100.000.

Secara teknologi, setiap nominal yang dicatat dalam sistem terkomputerisasi juga akan memakan memori penyimpanan. Bayangkan berapa space yang dibutuhkan untuk mencatat anggaran negara yang totalnya sudah ribuan triliun.

Merujuk Undang-undang Nomor 18/2016 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, total nilai rencana belanja negara mencapai Rp 2.080.451.168.747.000. Sudah masuk hitungan "kuadriliun". Sebaliknya, nilai rupiah terkecil pun tak bisa dimungkiri semakin jarang terpakai.

Sebagai catatan, redenominasi sudah pernah dijalankan di 30-an negara selama satu abad terakhir, setidaknya menurut Duca Iona dalam paparannya berjudul The National Currency Re-Denomination Experience in Several Countries: A Comparative Analisys pada 2005.

Ada contoh gagal, ada pula keberhasilan. Riset Andika Pambudi dkk pada 2014—berjudul Penentu Keberhasilan Redenominasi Mata Uang: Pendekatan Historis dan Eksperimental—mencatat, situasi dan kondisi perekonomian suatu negara yang berencana menjalankan redenominasi merupakan penentu keberhasilan atau kegagalan kebijakan itu.

Tetap perlu waspada

Salah satu yang paling harus diwaspadai ketika pemangkasan nominal berlaku, menurut makalah itu adalah ilusi mata uang. Ketika nominal Rp 1.000 menjadi Rp 100, misalnya, rawan terjadi kenaikan Rp 10 terasa ringan padahal nilai sesungguhnya tinggi setelah pemangkasan nominal.

Situasi itu ditengarai melanda sebagian Uni Eropa ketika wilayah tersebut mulai menggunakan mata uang tunggal euro, yang penulisan nominalnya (denominasi) mata uangnya lebih kecil dibandingkan mata uang masing-masing negara anggota Uni Eropa.

Pada bagian kesimpulan paparannya, Andika dkk menyatakan, hal yang penting dalam pelaksanaan kebijakan redenominasi mata uang adalah kondisi perekonomian pada saat dilaksanakannya kebijakan tersebut.

"Akan lebih baik jika redenominasi diterapkan ketika perekonomian berada dalam kondisi yang baik dan stabil, seperti tingkat inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi," tulis mereka.

Sumber : paparan DGS BI Perkembangan inflasi

Lalu, sosialisasi pun harus masif, untuk memastikan tak ada lonjakan harga gara-gara ilusi mata uang seperti kekhawatiran dan kejadian di sejumlah negara. Bila sampai ilusi seperti itu terjadi, inflasi dengan sendirinya terpicu.

Andika dkk menyarankan sosialisasi digelar intensif dan konsisten, bahkan sebelum rencana itu bergulir, untuk memberikan informasi yang jelas kepada publik terkait kebijakan tersebut.

Bersama sosialisasi dan pemahaman yang diharapkan darinya, data perekonomian Indonesia akan menjadi penentu redenominasi. Catatan, Indonesia hingga tahun ini mampu menjaga inflasi di level satu digit.

Di tengah gonjang-ganjing perekonomian glogal, ekonomi Indonesia juga tetap tumbuh positif ketika negara lain melambat bahkan mencatatkan deflasi.

Nah, siap menghadapi kemungkinan beberapa angka "nol" tak lagi tercetak di laporan rekening keuangan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com