Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa yang Mungkin Segera Hilang dari Rupiah?

Kompas.com - 12/12/2016, 23:06 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.com
- Setidaknya sejak enam tahun lalu, sebuah rencana besar mencuat soal penyederhanaan penulisan nominal rupiah. Apa yang menanti dari rencana tersebut?

Bayangkan, gaji bulanan Anda—katakanlah sekarang di kisaran Rp 10 juta—kehilangan tiga nol terakhir di penulisannya. Betul, akan tertinggal tulisan Rp 10.000 saja jadinya.

Sempat timbul tenggelam lalu menghilang bersama waktu dan gonjang-ganjing perekonomian dunia, kemungkinan seperti itu muncul dan menghangat lagi di perempat terakhir tahun ini.

"(Rencana penyederhanaan penulisan itu) jadi. Masuk Prolegnas 2017," ujar Deputi Gubernur BI Ronald Waas, seperti dikutip Kompas.com, Senin (19/9/2016).

Tak perlu panik, selama kondisi tersebut terkait dengan redenominasi. Kata yang susah dieja ini adalah bahasa teknis untuk penyederhanaan tulisan nominal itu.

Ronald tak dapat memastikan redenominasi akan berlaku di Indonesia. Selain stabilitas ekonomi, ujar dia, kondisi politik yang stabil dan efektivitas sosialisasi akan jadi penentunya.

Melawan trauma

Penyederhanaan penulisan nominal rupiah tidak mengubah nilai dari besaran uang itu. Hal ini jauh berbeda dengan "trauma" lama rupiah pada era 1950-an dan 1960-an.

Pada 1952, sejarah mencatat kebijakan pemotongan nilai mata uang yang dikenal dengan sebutan gunting Syafruddin. Saat itu, mata uang keluaran NICA (Belanda) dibelah dua dan hanya sebelah kiri yang berlaku dengan nilai setengahnya.

Lalu, pada 1959, kembali terjadi pemotongan nilai mata uang menjadi setengah nilai awal. Kejadian berulang lagi pada 1966, ketika inflasi tak terkendali, dengan pemotongan nilai bahkan menyisakan sepersepuluh nilai awalnya.

KOMPAS/PRIYOMBODO Uang lama berbagai pecahan termasuk pecahan kecil ditawarkan oleh pedagang uang di kawasan Pasar Baru, Sabtu (26/1/2013). Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia diharapkan gencar menyosialisasikan rencana redenominasi atau penyederhanaan pecahan rupiah agar masyarakat siap dan redenominasi tidak menimbulkan dampak inflasi.

Pemotongan nilai mata uang itu dikenal dengan sebutan sanering. Dalam sanering, harga beras yang katakanlah semula Rp 10.000 per kilogram tak lalu menjadi Rp 1.000 per kilogram ketika kebijakan itu memangkas nilai uang menjadi sepersepuluh.

Ketika sanering yang terjadi, harga beras justru bisa jadi Rp 5.000 per kilogram, dengan contoh sanering sepersepuluh nilai awal tersebut. Kejadian ini pernah menjadi "mimpi buruk" yang mewujud nyata di Indonesia pada era 1960-an.

Sejarah mencatat, Wakil Presiden Muhammad Hatta sampai "didamprat" istrinya karena tak membocorkan sedikit pun rencana sanering pada 1952. Rencana belanja istri Hatta berantakan karena nilai uangnya tak lagi cukup setelah pemangkasan nilai tersebut.

Apa bedanya dengan rencana redenominasi yang sekarang mencuat kembali?

Untuk menggambarkan perbedaan antara redenominasi dan sanering, daftar menu kafe modern bisa jadi contoh sederhana.

Pernah makan di kafe dan melihat daftar harga tak menyertakan tiga angka nol terakhir? Sebut saja, misalnya, harga kopi dihargai "Rp 25", steak "Rp 80". Bahkan, kadang-kadang simbol "Rp" di depan harga pun tak muncul.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com