Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kala Pembentukan "Super Holding" Tak Mendapatkan Restu

Kompas.com - 23/12/2016, 06:00 WIB
Iwan Supriyatna

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Banyaknya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mencapai 119 perusahaan dengan aset lebih dari sekitar Rp 4.500 triliun, membuat Menteri BUMN Rini Soemarno mengusulkan wacana yang cukup kontroversial.

Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era Presiden Megawati Soekarnoputri ini mengusulkan pembentukan perusahaan induk raksasa atau super holding BUMN dan meniadakan Kementerian BUMN.

Menurutnya, pembentukan super holding BUMN sangat dibutuhkan. Jika wacana tersebut berhasil diterapkan, maka perusahaan-perusahaan pelat merah bisa bergerak leluasa dan lebih lincah dalam pengembangan bisnisnya dan mampu meningkatkan daya saing secara global dengan tidak lagi membebani anggaran negara.

Keinginan Rini bukan tanpa alasan, salah satunya berkaca dari Singapura yang telah lebih dulu memiliki perusahaan super holding yakni Temasek yang membawahi sejumlah sektor usaha, seperti telekomunikasi, teknologi, jasa keuangan, transportasi, industri, real estate, pertanian, energi, dan lembaga pembiayaan.

Selain Singapura, Malaysia juga telah memiliki perusahaan induk raksasa Khazanah Nasional Berhad yang telah terbukti keberhasilannya.

Super Holding menuai protes

Namun wacana yang digulirkan Rini rupanya tak berjalan mulus. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Achmad Hafisz Tohir langsung menanggapi serius akan hal ini.

Menurutnya, super holding itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 33 tentang ekonomi. Artinya bila dipaksakan, Menteri BUMN bisa divonis melanggar konstitusi.

"Kami minta pemerintah untuk berhati-hati mengambil kebijakan di tengah situasi ekonomi nasional dan global yang sedang lesu. Jangan sampai kebijakan yang belum matang konsep dan lemah dasar hukumnya ini berdampak pada iklim investasi dan perekonomian nasional," ujar Achmad Hafisz kala itu.

Jika alasan pemerintah adalah demi efisiensi dan meningkatkan ekuitas perusahaan maka super holding bukan satu-satunya solusi. Ada beberapa alternatif lain seperti revaluasi aset BUMN atau melalui mekanisme initial public offering atau IPO ke pasar modal bagi BUMN yang sehat dan kuat ekuitasnya.

Selain itu pemerintah tidak perlu berpikir yang terlalu ambisius dan serba ideal dengan konsep super holdingnya tapi lebih disesuaikan dengan kebutuhan.

Misalnya pembentukan holding disesuaikan dengan subbidang yang sama, BUMN konstruksi, BUMN energi, BUMN jasa, BUMN perbankan dan keuangan dan sebagainya. Jadi sifatnya holding saja bukan super holding.

Menurut dia, Indonesia dibangun dengan tujuan menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bukan state corporation yang semata-mata mencari laba sebesar-besarnya.

Sesuai UU Nomor 19/2003 tentang BUMN pasal 1 ayat C, BUMN selain berfungsi mencari keuntungan, juga ada fungsi sosial di dalamnya yakni melayani rakyat.

Luluhnya wacana Super Holding 

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com