Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Outlook" Migas 2017: Perlu Belajar Lagi dari Takwil Mimpi Nabi Yusuf?

Kompas.com - 28/12/2016, 08:50 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.com – Takwil Nabi Yusuf atas mimpi Raja Mesir tentang tujuh sapi gemuk dan tujuh sapi kurus, terus saja mendapatkan momentum untuk diingat sampai sekarang. Kondisi industri hulu minyak dan gas (migas) di Indonesia semestinya bukan perkecualian.

Takwil tersebut mengisyaratkan perlunya menyimpan dan mengelola hasil panen atau produksi selagi ada kelebihan, untuk mengantisipasi kebutuhan pada masa mendatang yang belum tentu baik lagi. Tanpa hal itu, krisis adalah niscaya.

Namun, fakta sering kali melupakan kisah turun-temurun ribuan tahun itu. Selama bertahun-tahun "dininabobokan" kisah negeri kaya sumber daya alam—termasuk migas—, Indonesia kini justru terancam krisis energi.

(Baca juga: Mitos atau Fakta, Indonesia Kaya Migas?)

Fakta mendapati, rasio antara penemuan cadangan baru terbukti dan yang sudah berproduksi (replacement reserve ratio atau RRR) migas Indonesia terus turun dari standar 100 persen.

Data Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) per 23 Desember 2016 menyebutkan, rata-rata RRR migas Indonesia hanya 35,8 persen. Tepatnya, RRR untuk minyak adalah 47,99 persen, sementara untuk gas 27,24 persen.

Dok SKK Migas Tren reserve replacemet ratio (RRR) industri hulu migas Indonesia

Bila kondisi ini berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia benar-benar akan “kehabisan” sumber cadangan migas dalam negeri. Terlebih lagi, sebagian besar pasokan migas Indonesia masih mengandalkan sumur tua.

Saat ini pun, Indonesia sudah menjadi net importer minyak sejak 2004 dan rawan menjadi net importir gas dalam waktu dekat, bila tak segera ada penemuan sumber cadangan terbukti migas.

(Simak juga: VIP “Membongkar Mitos Indonesia Kaya Migas”)

Lalu apa tantangan industri hulu migas nasional pada 2017?

"Untuk bisa meningkatkan produksi (migas) memerlukan dukungan teknologi yang mumpuni,” ungkap Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar, Senin (19/12/2016),  seperti dikutip Antara.

Kebutuhan teknologi ini bahkan sudah mendesak sejak upaya pencarian cadangan baru migas. Menurut Kepala Humas SKK Migas, Taslim Z Yunus, tren eksplorasi akan makin mengarah ke kawasan timur Indonesia dan berlokasi di lautan dalam.

"Butuh teknologi yang makin tinggi dan biaya makin mahal, karenanya," kata Taslim, pada medio Juni 2016 dan diulang dalam beberapa kesempatan terpisah.

Di sinilah, lanjut dia, peran investor dalam skema investasi migas yang sekarang berlaku di Indonesia.

Adapun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan, saat ini produksi migas di dalam negeri ditengarai belum efisien.

"Karena itu kebijakan migas ke depan yang pertama adalah soal efisiensi produksi," kata Jonan, sebagaimana dikutip Antara.

Selain masalah memastikan pasokan, efisiensi produksi juga terkait dengan daya saing industri hulu migas nasional di tataran global. Merujuk survei yang digelar Fraser Institute pada 2015,  daya saing Indonesia di industri ini menempati posisi 113 dari 126 negara.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com